Jumat, 21 April 2017

Metode berapologetika di era Postmodern


Metode berapologetika di era Postmodern
Bab I
1.1  Latar Belakang masalah
Post modernisme secara harafiah dapat diartikan sebagai sebuah masa setelah masa modern, pun dapat diartikan sebagai sebuah zaman yang melahirkan manusia dengan pemikiran yang boleh jadi melawan konsepsi-kosepsi yang dipegang oleh modernisme itu sendiri. Post modernisme menjanjikan sebuah pemahaman akan sebuah dunia baru dengan gejala pemikiran manusia akan perkembangan dunia yang semakin cair dan luwes. Josh McDowell & Bob Hostetler menawarkan definisi berikut mengenai postmodernisme: "Postmodernisme adalah suatu pandangan dunia yang ditandai dengan keyakinan bahwa tidak ada kebenaran dalam pengertian objektif. Tetapi Postmodernisme diciptakan, bukan ditemukan. Kebenaran adalah yang diciptakan oleh budaya spesifik dan hanya ada di budaya.
Jadi bisa disimpulkan bahwa postmodern menolak segala kebenaran objektif dan mutlak.  Satu-satunya kebenaran yang layak dipercaya adalah “kebenaran bersifat relatif”. Kepercayaan terhadap akal budi digantikan dengan kepercayaan terhadap pengalaman atau perasaan tiap-tiap individu berdasarkan pengalaman.
Ini berarti postmodern tidak mengizinkan adanya klaim kebenaran yang absolut dan pembuktian kebenaran yang mutlak atau kebenaran tertinggi di atas kebenaran lain. Setiap orang bebas menafsirkan setiap realitas tanpa suatu standar apapun dan semuanya harus diakui dan dihargai sebagai kebenaran. Kebenaran bersifat relative, kebenaran bergantung pada setiap subjek. Namun demikian sebenarnya kebenaran bagi postmodern bukan sepenuhnya subjektif individualis. Subjektivitas postmodern adalah subjektivitas komunal, sebab kebenaran merupakan kesepakatan komunal.
1.2  Rumusan  Masalah
Sesuai dengan yang di atas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana cara melakukan apologetika terhadap orang yang mempuyai faham Postmodern ?

1.3  Tujuan Penelitian
Sebagai orang percaya yang mempuyai tugas untuk memberitakan Injil kepada semua orang, dan pada masa postmodern ini banyak orang yang tidak menyakini akan keberadaan Allah. Maka tujuan penulisan dari karya ini adalah bagaimana kita berapologetika denga  orang yang mempuyai faham postmodern.







Bab II
2.1.  Pengertian PostModern
Istilah ini membedakan dengan masa pra modern, maupun modern, meskipun masa post mdern sesungguhnya anak dari modernisme. Kalau Protestanisme menghasilkan pencerahan, evangelicalisme menghasilkan modernisme, maka pentakostalisme menghasilkan atau paling tidak menjadi daya dorong yang sangat besar bagi postmodernisme Masa pra modern adalah masa dimana otoritas budaya berjalan dengan stabil, tanpa dipertanyakan dan dikritisi, termasuk keyakinan-keyakinan religius. Pendek kata manusia pra modern menerima apa saja yang diajarkan oleh kebijakan-kebijakan tradisional dan lembaga yang dianggap berotoritas, sehingga budaya berlangsung relatif stabil karena tanpa gejolak yang berarti seperti masa setelahnya. Sedangkan masa Modern adalah masa dipertanyakannya atau lebih tepat disangsikannya otoritas budaya berdasarkan penalaran manusia. Hal-hal yang dipertanyakan bukan saja hal-hal berkenaan dengan norma-norma budaya, tetapi juga nilai-nilai religius. Grothuis mengatakan: Modernisme dimulai dengan upaya untuk memenuhi realitas objektif tanpa perlu kembali pada wahyu ilahi atau tradisi religius. Dengan demikian keyakinan terhadap kemampuan akal budi manusia mencapai puncak yang sangat tinggi, mengantikan wahyu ilahi. Rasio manusia dianggap akan mampu menjawab segala realita yang ada, termasuk dalam ranah moral dan religius. Di Eropa tempat kelahiran dari modernisme sekaligus juga tempat berkembangnya kekristenan, Alkitab di sangsikan kebenarannya dan dihakimi berdasarkan akal budi dan ilmu pengetahuan. Mengenai postmodern, Grothuis mengatakan: Menurut mereka ide tentang kebenaran objektif harus ditinggalkan bersama dengan sisa-sisa modernisme, yang dianggap upaya menyesatkan dari abad pencerahan, yang ingin mendapat kepastian objektif bagi perkara-perkara filosofis, ilmiah dan moral. Bagi mereka kita saat ini berada dalam era postmodern dan telah meninggalkan semua usaha yang hebat itu dibelakang, demi mendapatkan tujuan-tujuan yang lebih sederhana.
Yongky Karman secara meyakinkan mengatakan: Postmodernisme menyerang status khusus kebenaran yang satu, universal, total, dan absolut sebagaimana dipahami dalam modernisme. Kebenaran tunggal dan universal tidak diakui. Yang ada hanya kebenaran-kebenaran yang benar untuk setiap masyarakat atau komunitas. Maka kebenaran dipahami sebagai terpecah-pecah kedalam kebenaran-kebenaran yang sederajat tanpa acuan normatif tunggal di luarnya. Tidak ada tradisi atau ideologi yang berdiri diatas tradisi yang lain atau ideologi yang lain. Yang diyakini seseorang sebagai benar bukan lagi kebenaran tunggal melainkan bagian dari pluralisme kebenaran
2.2. Tantangan  Postmodern terhadap Teologi
Postmodern menempatkan begitu banyak tantangan terhadap teologi Kristen. Orang-orang yang menerima ide-ide postmodern percaya bahwa teologi Kristen harus meninggalkan sisa-sisa keterikatanya dengan modernism dan menerima model baru yang lebih sesuai dengan pemikiran postmodern. Ada pula pihak lain yang kurang radikal, tetapi tetap menerima postmodernime sebagai perkembangan yang bermanfaat, yang bisa membuka jalan-jalan pemikiran dan relevansi yang baru bagi teologi.
Tantangan dari Postmodern terhadap Teologi adalah dengan mengkritik bahasa, karena ada yang mempuyai pendapat jika Alkitab sebagai wahyu yang proposional merupakan hal yang biasa di pertanyakan atau bahkan salah. Mereka berargumentasi bahwa pandangan kita akan alkitab harus di evaluasi kembali. Karena bagi mereka pendapat yang selama ini adalah suatu hal yang tidak benar. Yang kedua adalah, ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa teologi harus mengutamakan natur narasi dan bukanya sistematik yang abstrak dan konseptual. Panaturan kisah Kristen harus menggantikan penetapan doktrin Kristen. Pandangan-pandangan ini perlu ditelaah dengan cermat agar teologi bisa bangkit menjawab tantangan postmodern.
2.2.1. Preposisi, Kebenaran, dan Teologi
Dapat di definisikan jika tugas dari telogi adalah mengidentifikasi dan merumuskan secara logis. Koheren, dan menyakinkan, kebenaran yang di wahyukan di dalam Alkitab. Pembelaan bagi wahyu proposional selalu merupakan ajaran sentral dari kaum injili dan prinsip utama di dalam perdebatan mengenai inerransi Alkitab. Dengan kata lain Alkitab adalah informativ dan benar di dalam setiap perkara yang dibicarakanya. Alkitab mewahyukan pengetahuan tentang natur Allah, manusia, etika, sejarah dan peristiwa-peristiwa yang akan datang, wahyu ini datang melalui beragam budaya dan individu. Tatai ini semua tidak membuatnya tidak kurang proposional.
              Bahasa Alkitab. Tidak hanya terdiri dari penyataan deklaratif seperti “Yesus menangis.” Alkitab juga menyajikan pertanyaan (pernyataan Yesus “Allahku. Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku:”), dan seruan “Haleluya”. Tuturan puitis yang bersifat proposisional, meskipun mereka mungkin sangat imajinatif dan emosional. Ini merupakan bahasa metafora dari pertobatan, pengakuan, dan pengharapan.
2.2.2. Menggugat Hakikat Alkitab
Postmodernisme adalah gagasan post-strukturalisme yang lahir sebagai “bayi” sekularisme modern. Menurut Klein, gagasan postmodernisme terhadap kebenaran adalah jamak. Pemikiran ini mendukung ideologi pluralisme dimana tidak ada satu agama atau cara pandang (worldview) yang mengandung kebenaran mutlak.[1] Hal ini tentu saja menggugat hakikat Alkitab sebagai sebuah kebenaran dan satu-satunya kebenaran mutlak. Dalam pandangan ini, Alkitab diperlakukan sama dan sederajat dengan kitab-kitab lain dan tidak eksklusif diterima sebagai satu-satunya penyataan khusus Allah kepada manusia. Padahal menurut Erickson, Alkitab adalah buku yang berbeda karena Alkitab mencakup baik kehadiran Allah sendiri maupun kebenaran yang menginformasikan tentang diri-Nya.[2] Tentu saja sebagai buku yang merupakan penyataan khusus Allah, Alkitab memiliki wibawa dan otoritas. Postmodernisme justru menggugat kebenaran mutlak akan kewibawaan dan otoritas Alkitab tersebut.
2.2.3. Penafsiran Alkitab Yang Semaunya
pendekatan postmodernisme terhadap teks, sangat bertentangan dengan natur utama hermenetik yaitu eksegesa. Pendekatan hermenetik postmodernisme bukanlah teks atau konteks melainkan apa yang menjadi pikiran atau wawasan pembaca saat membaca teks Alkitab. Metodologi ini membuka ruang yang selebar-lebarnya untuk rekontekstualiasi, sesuatu yang sangat berbahaya dan membelokkan kebenaran menurut kemauan penafsir, yang oleh Lim disebut hermeneutical pitfalls.[3] Mengapa disebut berbahaya, karena penafsir hanya akan memperlakukan teks Alkitab sebagai kumpulan dari ide-ide manusia belaka dan menolaknya sebagai ide Allah yang diinspirasikan kepada manusia. Mengapa hal  ini terjadi? Kembali kepada pemikiran Derrida, konsepnya tentang Allah telah mengalami dekonstruksi. Arti Allah bagi Derrida menurut salah seorang komentator, John D. Caputo dalam Deconstruction in a Nutshell, adalah sesuatu “Yang Lain”, maksudnya Allah dapat disebut dengan nama lain seperti “keadilan, keramahan, kesaksian, anugerah dan demokrasi. “Karena Allah adalah nama yang lain, tiap yang lain, tidak peduli siapa.”[4]
2.2.4. Penerimaan Naskah di luar kanon
Dekonstruksi sebagai salah satu natur dari postmodernisme memberikan ruang untuk membongkar struktur dan membentuknya kembali dengan menerima hal-hal marjinal. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima dalam konteks finalitas kanon Alkitab. Kitab, ayat dan isi Alkitab sudah selesai dan tidak dapat dikurangi atau diganggu gugat. Demikian juga dengan kebenaran yang diberitakannya baik di dalam Perjanjian Lama maupun di dalam Perjanjian Baru. Tidak ada hal yang perlu dipertanyakan lagi. Bahaya dari dekonstruksi adalah sikapnya yang terbuka untuk menerima kebenaran di luar struktur dan dianggap sebagai hal yang mungkin lebih benar dibandingkan yang selama ini diyakini benar. Jika ini diterapkan terhadap Alkitab, maka hal itu sama saja dengan arti menolak kanon, menerima surat-surat yang pernah ditolak oleh kanon dan menolak kebenaran yang diungkap di dalam kanon resmi. Maka tidaklah mengherankan, di abad 21, berbagai pemikiran sebagai produk dekonstruksi mengalir sebagai arus yang kuat. Penerimaan terhadap konsep alternatif mulai muncul. Beberapa penerbit mulai secara konsisten mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dulu dianggap sebagai bidat oleh Bapa-bapa Gereja. Naskah-naskah “alternatif” itu kemudian disandingkan sebagai upaya dekonstruksi terhadap finalitas kanon Alkitab.


2.3. Bahaya Yang Perlu Di Hindari
Memperhatikan efek-efek pemudaran kebenaran yang ada, bagaimana kekristenan membela wawasan dunia alkitabiah di dalam dunia postmodern? Karena apologetika merupakan seni dan bukan ilmu, maka tag ada cara resmi dalam membela iman Kristen. Pembelaan harus membela semangat zaman. Tatapi tidal semua strategi apologetika sama bijaknya. Ada sejumlah pihak yang mengkali sejumlah gereja terlalu terpaku pada metode aplogetika modern. Sehingga tag bisa menjawa tantangan dari dunia postmodern. Penulis sekaligus teolog Alister McGrath mereomendasikan apologetika yang berpusat pada pribadi yang bertujuan untuk tetap setia pada Injil sementara menjamin bahwa aologetika ini menjawab tuntas situasu kontenpoler. Tag ada masalah dengan prinsip umum ini, meskipun kita tidak perlu mencampakan klaim kekristenan atas kebenaran.
2.3.1. kebenaran Khusus Yesus.
Penulis terkenal yang bernama Willimon mengatakan jika kebenaran yang ada di dalam Alkitab hanyalah milik Yesus. Dia mengasumsikan bahwa acuan pada kebenaran objektif menjadikan kebenaran terlalu murah, karena akan mudah di dapatkan oleh setiap orang tanpa adanya usaha. Dan ia menganggap itu adalah warisan yang buruk dari abad pencerahan. Yang merancang system-sistem kebenaran yang bisa didekati oleh satiap pribadi rasional. Wiilimon gagal dalam membuat perbedaan krusial yang sangat mendasar bagi apologetika. Karena tidak dapat memahami apa itu kebenaran objektif yang berkorespondensi terhadap realitas. Maka klaim kristus akan terserap ke dalam kontruktivisme postmodern.
Willimon mencampurka klaim metafisika- bahwa kebenaran objektiv berksistensi dengan klaim epistemologis tentang bagaimana pengetahuan akan kebenaran objektif didapatkan. Teologi natural membuat Willimon khawatir. Dia berpendapat bahwa pengacuan pada alam sebagai premis yang darinya kita menyimpulkan eksistensi Alah atas keteratura, dan bukanya menayakan “peraturan yang Alkitabiah”, Allah seperti apa yang bereksistensi ? Argumentasi dari alam kepada Allah memiliki banyak bentuk, ada yang menyakinkan. Ada juga yang tidak. Willimon semakin memperkeruh permasalahn dengan mengklaim bahwa  apa yang di janjikan Allah Israel dan gereja kepada kita bukanlah kebenran mutlak yang tereduksi menjadi proposisi, melainkan realitas kerajaan Allah dan kesatuan keka dengan Dia yang adalah jalan, kebenaran dan hidup. Karena dia mengacu pada bimbingan Roh Kudus sebagai bukti bahwa kebenaran Kristen tidak di hasilkan oleh pemikiran yang jernih. Ia merupakan karunia. Ini adalah dikotomi yang salah. Karena Roh bisa memimpin kita pada kebenaran melalui pemikiran yang jernih mengenai klaim kebenran Kristen. Jika mereka pada akhirnya percaya pada Injil, segala kemuliaan bagi Allah kaena karunia-Nya ini.
2.3.2.  menentang kebanaran objektif
Philip Kenneson mempresentasikan sebuah pandangan yang baru. Bahkan ia berani bertindak radika dengan pandangan yang barunya ini. Ia berpendapat jika kepercayaan kepada kebenaran yang objektif sebagai pandangan yang mustahil yang tidak berasal dari manapun. Ide abad pencerahan tentang kebenaran objektif sebagai kebenaran yang berkorespondensi dengan realitas merupakan perputaran yang salah secara filosofis. Pandangan ini menimbulkan kecemasan menyangkut verivikasi kepercayaan-kepercayaan mana yang berkorespondensi dengan realias.
Jika kita melihat baik-baik dalam Alkitab. Kita akan menemukan jika kebenran yang terdapat di dalamnya adalah kebenaran yang objektif. Orang-orang Kristen sepanjang sejarah percaya bahwa klaim Alkitab berkorespondensi dengan realitas. Pandangan ini bukanlah suatu pandangan yang tag berasal dari manapun. Melainkan pandangan yang berasal dari suatu tempat. Allah memandang setiap tempat, jadi pandanganya merupakan pandangan dari segala tempat. Kita yang terbatas di ruang dan waktu. Bukan berarti jika pandangn ini mutlak bertentangan dengan realitas yang ada.
Paradigma pandangan kebaneran dan epistemology versi kanneson bersifat kontradiktif dan menghancurkan dasar setiap apologetika yang rasional bagi kebenaran iman Kristen. Jika tidak ada kebenaran yang objektif maka taka da kesaksian Kristen bagi kesaksian tersebut. Tag ada perwujudan dari kebanaran tersebut.. da nada usaha apologetika sama sekali. Kita hanya di tinggalkan dengan redeskrispsi relativisme.


2.4. apologetika terhadap orang Postmodern
Setelah mengerti bagaimana serangan dari  postmodern yang pendekatanya mudah untuk dilihat. Pendekatan yang di contohkan yang di lakukan oleh kaum postmodern tidak memiliki kekuatan untuk apologetika. Tag memiliki dukungan argumentasi dan bukti. Tag memiliki keunikan apalagi hal yang provokatif untuk di sampaikan kepada orang-orang postmodern. Bagaimana cara kita mengkomunikasikan pesan kekrisenan kepada orang-orang yang terpengaruh oleh kepercayaan postmodern?
2.4.1. mengargumentasikan kebenaran di pasar
Di masa dimana universalitas disamakan dengan metanarasi totaliter dan hegemoni yang sudah using atau bahkan berbahay, kekristenantetap dimaksudkan untuk menjadi agam yang universal. Apologetika bagi orang yang hidup dimas a postmodern harus menempatkan konsep kebenaan di pusat. Istilah kebenaran merupakan istilah yang begitu sering disalahgunakan. Dilemahkan dan diselewengkan. Oleh karena itu, para apologetika wajib mendefenisikan dan mengilustrasikan istilah ini, dan kemudian menghadapi orang-orang postmodern sesuai denganya. Kebenaran Alkitabiah  yang sesuai denga realitas dan memegang realitas Allah dengan segenap keberadaan kita. Kebenaran Alkitabiah juga kebenaran yang diwahyukan, objektif, mutlak, antithesis, sistemik penting, dan memiliki nilai intrisik.
2.4.2. Spiritual Sejati : Kebenaran Bagi Jiwa
Postmodern meggoda kita untuk menciptakan spiritualitas sesuai dengan rekaan diri sendiri atau kembali pada tradisi rohani dari kelmpok etnis atau rasnya tanpa memedulikan kebenaran objektif atau rasionalitas. Untuk meghadapi ini apologetika Kristen harus menakan spiritualitas sebagai prangkat di dalam kerangka kerja kebenaran objektif. Jika tidak. Spiritualitas Kristen hanya akan dilihat sebagai salah satu opsi  lain yang pragmatis, relative dan subjektif. Allah akan di rendahkan dengan mereduksi-Nya menjadi alat untuk menghindari kebosanan, menciptakan kesenangan, meningkatkan citra diri atau memberikan tatanan atau kewarasan tertentu bagi kehidupan keluarga.
Mengklaim jika sudut pandang Kristen adalah benar, tidak mengimplikasikan bahwa setiap pengatahuan Kristen adalah komprehensif atau sempurna. Kemutlakan kebenaran tidak mengimplikasikan kemutlakan kebenaran manusia yang kita miliki. Meski demikian Alah menetapkan bahwa kita memakai “bejana-bejana tanah liat” untuk menyatakan injil kepada dunia yang terhilang ini. Karena kebenaran Allah cukup kuat untuk mempertahankan perikopnya tetap hidup setiap kita.
 2.4.3 Pengacuan Pada Penjelasan Terbaik
Dalam sebuah argumentasi abduktif, dimana kekristenan di presentasikan sebagai wawasan dunia atau system konseptual yang paling baik di dalam menjelaskan setiap dimensi kehidupan ini, para apologet Kristen tidak perlu meminta orang banyak untuk mengambil lompatan iman yang buta ke dalam kegelapan atau untuk bermain di dalam permaianan bahasa yang baru untuk melihat apakah hal tersebut akan menolong mereka. Atau untuk bergabung didalam komunitas baru hanya demi bergabung dengan komunitas baru itu sendiri.
Wawasan dunia postmodern meruntuhkan dirinya sendiri karena adanya inkonsistensi secara logis, tidak memadai secara moral, dan tidak sanggup mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdalam. Keberadaan alam semesta sebagai system yang kontingen dan terancang. Paling baik di jelaskan oleh satu pencipta yang nonkontingen,yang tidak tergantung pada hal apapun diluar diriNya sendiri. Dan yang menciptakan alam semesta untuk beroperasi di dalam berbagai cara yang berhubungan dengan tujuan. Satu-satunya hukum bagi moral yang ojektif adalah eksistensi dari satu pemberi hukum moral objektif yang merupakan sumber,standar,stipulator dari yang baik bagi ciptaan-Nya dan apa yang memberikan penghormatan bagi sang pencipta.
Upaya-upaya apologetika harus menjelaskan bahwa kekristenan merupakan situasi dengan taruhan yang tertinggi. Perkara surga dan neraka, jika injil itu benar dan seseorang menolaknya, maka terdapat konsekuensi yang berbahaya di dalam kehidupan sekrang ini dan kehidupan yang mendatang.seeorang kehilangan persekutuanya dengan Allahdan dengan para pengikut Allah di bumi ini, dan mewarisi terpisahnya kekal dengan Allah dan semua hal yang baik di bumi ini. [5]

Simpulan
Pada zaman postmodern tidak mengizinkan adanya klaim kebenaran yang absolut dan pembuktian kebenaran yang mutlak atau kebenaran tertinggi di atas kebenaran lain. Sebagai orang percaya kita harus memberitakan hal yang sesungguhnya. Kebenarn yang absolut adalah hanya milik Allah yang sesuai dengan Alkitab yang menjadi buku tuntunan bagi orang percaya. Apologetika tag boleh di pahami sebagai upaya untuk mengemangkan system penyataan dan argumentasi yang sempurna, yang bisa membuktikan iman kita satu kali untuk selamanya. Sebaliknya, apologetika merupakan strategi untuk mempresentasikan suatu kasus yang menarik bagi permisa di dalam satu diskusi yang unik dengan masyarakat yang ada saat ini. Karena ini adalah suatu urusan surge atau neraka sehingga hal itu harus benar-benar kita lakukan dan dengan segenap hati kita  untuk membuktikan kebanaran yang sesungguhnya.




[1] William W. Klein, Craig L. Blomberg and Robert L. Hubbard, Jr.,  Introduction to Biblical Interpretation (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 2004), 71
[2] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume Satu (Malang: Gandum Mas, 2004), 315.

[3] Johnson T.K. Lim, Hebrew, Hermeneutics and Homiletics: Collected Works with New Essays and Sermons of Johnson T.K. Lim (Hongkong: ABGTS Publication, 2010), 210.
[4] Kevin O. Donnel, Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 134.
[5] Douglas Groothuis. Pudarnya Kebenaran.(Surabaya. Momentum.2003)hlm. 179 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar