Metode berapologetika di era
Postmodern
Bab I
1.1 Latar Belakang masalah
Post modernisme secara
harafiah dapat diartikan sebagai sebuah masa setelah masa modern, pun dapat
diartikan sebagai sebuah zaman yang melahirkan manusia dengan pemikiran yang
boleh jadi melawan konsepsi-kosepsi yang dipegang oleh modernisme itu sendiri.
Post modernisme menjanjikan sebuah pemahaman akan sebuah dunia baru dengan
gejala pemikiran manusia akan perkembangan dunia yang semakin cair dan luwes. Josh
McDowell & Bob Hostetler menawarkan definisi berikut mengenai
postmodernisme: "Postmodernisme adalah suatu pandangan dunia yang ditandai
dengan keyakinan bahwa tidak ada kebenaran dalam pengertian objektif. Tetapi
Postmodernisme diciptakan, bukan ditemukan. Kebenaran adalah yang diciptakan
oleh budaya spesifik dan hanya ada di budaya.
Jadi
bisa disimpulkan bahwa postmodern menolak segala kebenaran objektif dan mutlak.
Satu-satunya kebenaran yang layak
dipercaya adalah “kebenaran bersifat relatif”. Kepercayaan terhadap akal budi
digantikan dengan kepercayaan terhadap pengalaman atau perasaan tiap-tiap individu
berdasarkan pengalaman.
Ini
berarti postmodern tidak mengizinkan adanya klaim kebenaran yang absolut dan
pembuktian kebenaran yang mutlak atau kebenaran tertinggi di atas kebenaran
lain. Setiap orang bebas menafsirkan setiap realitas tanpa suatu standar apapun
dan semuanya harus diakui dan dihargai sebagai kebenaran. Kebenaran bersifat
relative, kebenaran bergantung pada setiap subjek. Namun demikian sebenarnya
kebenaran bagi postmodern bukan sepenuhnya subjektif individualis.
Subjektivitas postmodern adalah subjektivitas komunal, sebab kebenaran
merupakan kesepakatan komunal.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan
yang di atas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana cara melakukan
apologetika terhadap orang yang mempuyai faham Postmodern ?
1.3 Tujuan
Penelitian
Sebagai orang percaya yang mempuyai tugas untuk
memberitakan Injil kepada semua orang, dan pada masa postmodern ini banyak
orang yang tidak menyakini akan keberadaan Allah. Maka tujuan penulisan dari
karya ini adalah bagaimana kita berapologetika denga orang yang mempuyai faham postmodern.
Bab II
2.1. Pengertian PostModern
Istilah
ini membedakan dengan masa pra modern, maupun modern, meskipun masa post mdern
sesungguhnya anak dari modernisme. Kalau Protestanisme menghasilkan pencerahan,
evangelicalisme menghasilkan modernisme, maka pentakostalisme menghasilkan atau
paling tidak menjadi daya dorong yang sangat besar bagi postmodernisme Masa pra
modern adalah masa dimana otoritas budaya berjalan dengan stabil, tanpa
dipertanyakan dan dikritisi, termasuk keyakinan-keyakinan religius. Pendek kata
manusia pra modern menerima apa saja yang diajarkan oleh kebijakan-kebijakan
tradisional dan lembaga yang dianggap berotoritas, sehingga budaya berlangsung
relatif stabil karena tanpa gejolak yang berarti seperti masa setelahnya.
Sedangkan masa Modern adalah masa dipertanyakannya atau lebih tepat
disangsikannya otoritas budaya berdasarkan penalaran manusia. Hal-hal yang
dipertanyakan bukan saja hal-hal berkenaan dengan norma-norma budaya, tetapi
juga nilai-nilai religius. Grothuis mengatakan: Modernisme dimulai dengan upaya
untuk memenuhi realitas objektif tanpa perlu kembali pada wahyu ilahi atau
tradisi religius. Dengan demikian keyakinan terhadap kemampuan akal budi
manusia mencapai puncak yang sangat tinggi, mengantikan wahyu ilahi. Rasio
manusia dianggap akan mampu menjawab segala realita yang ada, termasuk dalam
ranah moral dan religius. Di Eropa tempat kelahiran dari modernisme sekaligus
juga tempat berkembangnya kekristenan, Alkitab di sangsikan kebenarannya dan
dihakimi berdasarkan akal budi dan ilmu pengetahuan. Mengenai postmodern,
Grothuis mengatakan: Menurut mereka ide tentang kebenaran objektif harus
ditinggalkan bersama dengan sisa-sisa modernisme, yang dianggap upaya
menyesatkan dari abad pencerahan, yang ingin mendapat kepastian objektif bagi
perkara-perkara filosofis, ilmiah dan moral. Bagi mereka kita saat ini berada
dalam era postmodern dan telah meninggalkan semua usaha yang hebat itu
dibelakang, demi mendapatkan tujuan-tujuan yang lebih sederhana.
Yongky
Karman secara meyakinkan mengatakan: Postmodernisme menyerang status khusus
kebenaran yang satu, universal, total, dan absolut sebagaimana dipahami dalam
modernisme. Kebenaran tunggal dan universal tidak diakui. Yang ada hanya
kebenaran-kebenaran yang benar untuk setiap masyarakat atau komunitas. Maka
kebenaran dipahami sebagai terpecah-pecah kedalam kebenaran-kebenaran yang
sederajat tanpa acuan normatif tunggal di luarnya. Tidak ada tradisi atau
ideologi yang berdiri diatas tradisi yang lain atau ideologi yang lain. Yang
diyakini seseorang sebagai benar bukan lagi kebenaran tunggal melainkan bagian
dari pluralisme kebenaran
2.2. Tantangan Postmodern terhadap Teologi
Postmodern
menempatkan begitu banyak tantangan terhadap teologi Kristen. Orang-orang yang
menerima ide-ide postmodern percaya bahwa teologi Kristen harus meninggalkan
sisa-sisa keterikatanya dengan modernism dan menerima model baru yang lebih
sesuai dengan pemikiran postmodern. Ada pula pihak lain yang kurang radikal,
tetapi tetap menerima postmodernime sebagai perkembangan yang bermanfaat, yang
bisa membuka jalan-jalan pemikiran dan relevansi yang baru bagi teologi.
Tantangan
dari Postmodern terhadap Teologi adalah dengan mengkritik bahasa, karena ada
yang mempuyai pendapat jika Alkitab sebagai wahyu yang proposional merupakan
hal yang biasa di pertanyakan atau bahkan salah. Mereka berargumentasi bahwa
pandangan kita akan alkitab harus di evaluasi kembali. Karena bagi mereka
pendapat yang selama ini adalah suatu hal yang tidak benar. Yang kedua adalah,
ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa teologi harus mengutamakan natur narasi
dan bukanya sistematik yang abstrak dan konseptual. Panaturan kisah Kristen
harus menggantikan penetapan doktrin Kristen. Pandangan-pandangan ini perlu
ditelaah dengan cermat agar teologi bisa bangkit menjawab tantangan postmodern.
2.2.1.
Preposisi, Kebenaran, dan Teologi
Dapat di definisikan jika tugas dari
telogi adalah mengidentifikasi dan merumuskan secara logis. Koheren, dan
menyakinkan, kebenaran yang di wahyukan di dalam Alkitab. Pembelaan bagi wahyu
proposional selalu merupakan ajaran sentral dari kaum injili dan prinsip utama
di dalam perdebatan mengenai inerransi Alkitab. Dengan kata lain Alkitab adalah
informativ dan benar di dalam setiap perkara yang dibicarakanya. Alkitab
mewahyukan pengetahuan tentang natur Allah, manusia, etika, sejarah dan
peristiwa-peristiwa yang akan datang, wahyu ini datang melalui beragam budaya
dan individu. Tatai ini semua tidak membuatnya tidak kurang proposional.
Bahasa Alkitab. Tidak hanya
terdiri dari penyataan deklaratif seperti “Yesus menangis.” Alkitab juga
menyajikan pertanyaan (pernyataan Yesus “Allahku. Allahku, mengapa Engkau
meninggalkan Aku:”), dan seruan “Haleluya”. Tuturan puitis yang bersifat
proposisional, meskipun mereka mungkin sangat imajinatif dan emosional. Ini
merupakan bahasa metafora dari pertobatan, pengakuan, dan pengharapan.
2.2.2.
Menggugat Hakikat Alkitab
Postmodernisme adalah gagasan post-strukturalisme
yang lahir sebagai “bayi” sekularisme modern. Menurut Klein, gagasan
postmodernisme terhadap kebenaran adalah jamak. Pemikiran ini mendukung
ideologi pluralisme dimana tidak ada satu agama atau cara pandang (worldview) yang
mengandung kebenaran mutlak.[1] Hal
ini tentu saja menggugat hakikat Alkitab sebagai sebuah kebenaran dan
satu-satunya kebenaran mutlak. Dalam pandangan ini, Alkitab diperlakukan sama
dan sederajat dengan kitab-kitab lain dan tidak eksklusif diterima sebagai
satu-satunya penyataan khusus Allah kepada manusia. Padahal menurut Erickson,
Alkitab adalah buku yang berbeda karena Alkitab mencakup baik kehadiran Allah
sendiri maupun kebenaran yang menginformasikan tentang diri-Nya.[2]
Tentu saja sebagai buku yang merupakan penyataan khusus Allah, Alkitab memiliki
wibawa dan otoritas. Postmodernisme justru menggugat kebenaran mutlak akan
kewibawaan dan otoritas Alkitab tersebut.
2.2.3.
Penafsiran Alkitab Yang Semaunya
pendekatan postmodernisme terhadap teks, sangat
bertentangan dengan natur utama hermenetik yaitu eksegesa. Pendekatan
hermenetik postmodernisme bukanlah teks atau konteks melainkan apa yang menjadi
pikiran atau wawasan pembaca saat membaca teks Alkitab. Metodologi ini membuka
ruang yang selebar-lebarnya untuk rekontekstualiasi, sesuatu yang sangat
berbahaya dan membelokkan kebenaran menurut kemauan penafsir, yang oleh Lim
disebut hermeneutical pitfalls.[3] Mengapa
disebut berbahaya, karena penafsir hanya akan memperlakukan teks Alkitab
sebagai kumpulan dari ide-ide manusia belaka dan menolaknya sebagai ide Allah
yang diinspirasikan kepada manusia. Mengapa hal ini terjadi? Kembali
kepada pemikiran Derrida, konsepnya tentang Allah telah mengalami dekonstruksi.
Arti Allah bagi Derrida menurut salah seorang komentator, John D. Caputo
dalam Deconstruction in a Nutshell, adalah sesuatu “Yang Lain”, maksudnya
Allah dapat disebut dengan nama lain seperti “keadilan, keramahan, kesaksian, anugerah
dan demokrasi. “Karena Allah adalah nama yang lain, tiap yang lain, tidak
peduli siapa.”[4]
2.2.4.
Penerimaan Naskah di luar kanon
Dekonstruksi sebagai salah satu natur dari
postmodernisme memberikan ruang untuk membongkar struktur dan membentuknya
kembali dengan menerima hal-hal marjinal. Tentu saja hal ini tidak dapat
diterima dalam konteks finalitas kanon Alkitab. Kitab, ayat dan isi Alkitab
sudah selesai dan tidak dapat dikurangi atau diganggu gugat. Demikian juga
dengan kebenaran yang diberitakannya baik di dalam Perjanjian Lama maupun di
dalam Perjanjian Baru. Tidak ada hal yang perlu dipertanyakan lagi. Bahaya dari
dekonstruksi adalah sikapnya yang terbuka untuk menerima kebenaran di luar
struktur dan dianggap sebagai hal yang mungkin lebih benar dibandingkan yang
selama ini diyakini benar. Jika ini diterapkan terhadap Alkitab, maka hal itu
sama saja dengan arti menolak kanon, menerima surat-surat yang pernah ditolak
oleh kanon dan menolak kebenaran yang diungkap di dalam kanon resmi. Maka
tidaklah mengherankan, di abad 21, berbagai pemikiran sebagai produk
dekonstruksi mengalir sebagai arus yang kuat. Penerimaan terhadap konsep
alternatif mulai muncul. Beberapa penerbit mulai secara konsisten
mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dulu dianggap sebagai bidat oleh
Bapa-bapa Gereja. Naskah-naskah “alternatif” itu kemudian disandingkan sebagai
upaya dekonstruksi terhadap finalitas kanon Alkitab.
2.3. Bahaya Yang Perlu
Di Hindari
Memperhatikan
efek-efek pemudaran kebenaran yang ada, bagaimana kekristenan membela wawasan
dunia alkitabiah di dalam dunia postmodern? Karena apologetika merupakan seni
dan bukan ilmu, maka tag ada cara resmi dalam membela iman Kristen. Pembelaan
harus membela semangat zaman. Tatapi tidal semua strategi apologetika sama
bijaknya. Ada sejumlah pihak yang mengkali sejumlah gereja terlalu terpaku pada
metode aplogetika modern. Sehingga tag bisa menjawa tantangan dari dunia
postmodern. Penulis sekaligus teolog Alister McGrath mereomendasikan
apologetika yang berpusat pada pribadi yang bertujuan untuk tetap setia pada
Injil sementara menjamin bahwa aologetika ini menjawab tuntas situasu
kontenpoler. Tag ada masalah dengan prinsip umum ini, meskipun kita tidak perlu
mencampakan klaim kekristenan atas kebenaran.
2.3.1.
kebenaran Khusus Yesus.
Penulis
terkenal yang bernama Willimon mengatakan jika kebenaran yang ada di dalam
Alkitab hanyalah milik Yesus. Dia mengasumsikan bahwa acuan pada kebenaran
objektif menjadikan kebenaran terlalu murah, karena akan mudah di dapatkan oleh
setiap orang tanpa adanya usaha. Dan ia menganggap itu adalah warisan yang
buruk dari abad pencerahan. Yang merancang system-sistem kebenaran yang bisa
didekati oleh satiap pribadi rasional. Wiilimon gagal dalam membuat perbedaan
krusial yang sangat mendasar bagi apologetika. Karena tidak dapat memahami apa
itu kebenaran objektif yang berkorespondensi terhadap realitas. Maka klaim
kristus akan terserap ke dalam kontruktivisme postmodern.
Willimon
mencampurka klaim metafisika- bahwa kebenaran objektiv berksistensi dengan
klaim epistemologis tentang bagaimana pengetahuan akan kebenaran objektif
didapatkan. Teologi natural membuat Willimon khawatir. Dia berpendapat bahwa
pengacuan pada alam sebagai premis yang darinya kita menyimpulkan eksistensi
Alah atas keteratura, dan bukanya menayakan “peraturan yang Alkitabiah”, Allah
seperti apa yang bereksistensi ? Argumentasi dari alam kepada Allah memiliki
banyak bentuk, ada yang menyakinkan. Ada juga yang tidak. Willimon semakin
memperkeruh permasalahn dengan mengklaim bahwa
apa yang di janjikan Allah Israel dan gereja kepada kita bukanlah
kebenran mutlak yang tereduksi menjadi proposisi, melainkan realitas kerajaan
Allah dan kesatuan keka dengan Dia yang adalah jalan, kebenaran dan hidup.
Karena dia mengacu pada bimbingan Roh Kudus sebagai bukti bahwa kebenaran
Kristen tidak di hasilkan oleh pemikiran yang jernih. Ia merupakan karunia. Ini
adalah dikotomi yang salah. Karena Roh bisa memimpin kita pada kebenaran
melalui pemikiran yang jernih mengenai klaim kebenran Kristen. Jika mereka pada
akhirnya percaya pada Injil, segala kemuliaan bagi Allah kaena karunia-Nya ini.
2.3.2.
menentang kebanaran objektif
Philip
Kenneson mempresentasikan sebuah pandangan yang baru. Bahkan ia berani
bertindak radika dengan pandangan yang barunya ini. Ia berpendapat jika
kepercayaan kepada kebenaran yang objektif sebagai pandangan yang mustahil yang
tidak berasal dari manapun. Ide abad pencerahan tentang kebenaran objektif sebagai
kebenaran yang berkorespondensi dengan realitas merupakan perputaran yang salah
secara filosofis. Pandangan ini menimbulkan kecemasan menyangkut verivikasi
kepercayaan-kepercayaan mana yang berkorespondensi dengan realias.
Jika
kita melihat baik-baik dalam Alkitab. Kita akan menemukan jika kebenran yang
terdapat di dalamnya adalah kebenaran yang objektif. Orang-orang Kristen
sepanjang sejarah percaya bahwa klaim Alkitab berkorespondensi dengan realitas.
Pandangan ini bukanlah suatu pandangan yang tag berasal dari manapun. Melainkan
pandangan yang berasal dari suatu tempat. Allah memandang setiap tempat, jadi
pandanganya merupakan pandangan dari segala tempat. Kita yang terbatas di ruang
dan waktu. Bukan berarti jika pandangn ini mutlak bertentangan dengan realitas
yang ada.
Paradigma
pandangan kebaneran dan epistemology versi kanneson bersifat kontradiktif dan
menghancurkan dasar setiap apologetika yang rasional bagi kebenaran iman
Kristen. Jika tidak ada kebenaran yang objektif maka taka da kesaksian Kristen
bagi kesaksian tersebut. Tag ada perwujudan dari kebanaran tersebut.. da nada
usaha apologetika sama sekali. Kita hanya di tinggalkan dengan redeskrispsi
relativisme.
2.4. apologetika
terhadap orang Postmodern
Setelah
mengerti bagaimana serangan dari
postmodern yang pendekatanya mudah untuk dilihat. Pendekatan yang di
contohkan yang di lakukan oleh kaum postmodern tidak memiliki kekuatan untuk
apologetika. Tag memiliki dukungan argumentasi dan bukti. Tag memiliki keunikan
apalagi hal yang provokatif untuk di sampaikan kepada orang-orang postmodern.
Bagaimana cara kita mengkomunikasikan pesan kekrisenan kepada orang-orang yang
terpengaruh oleh kepercayaan postmodern?
2.4.1.
mengargumentasikan kebenaran di pasar
Di
masa dimana universalitas disamakan dengan metanarasi totaliter dan hegemoni
yang sudah using atau bahkan berbahay, kekristenantetap dimaksudkan untuk
menjadi agam yang universal. Apologetika bagi orang yang hidup dimas a
postmodern harus menempatkan konsep kebenaan di pusat. Istilah kebenaran
merupakan istilah yang begitu sering disalahgunakan. Dilemahkan dan
diselewengkan. Oleh karena itu, para apologetika wajib mendefenisikan dan
mengilustrasikan istilah ini, dan kemudian menghadapi orang-orang postmodern
sesuai denganya. Kebenaran Alkitabiah
yang sesuai denga realitas dan memegang realitas Allah dengan segenap
keberadaan kita. Kebenaran Alkitabiah juga kebenaran yang diwahyukan, objektif,
mutlak, antithesis, sistemik penting, dan memiliki nilai intrisik.
2.4.2.
Spiritual Sejati : Kebenaran Bagi Jiwa
Postmodern
meggoda kita untuk menciptakan spiritualitas sesuai dengan rekaan diri sendiri
atau kembali pada tradisi rohani dari kelmpok etnis atau rasnya tanpa
memedulikan kebenaran objektif atau rasionalitas. Untuk meghadapi ini apologetika
Kristen harus menakan spiritualitas sebagai prangkat di dalam kerangka kerja
kebenaran objektif. Jika tidak. Spiritualitas Kristen hanya akan dilihat
sebagai salah satu opsi lain yang
pragmatis, relative dan subjektif. Allah akan di rendahkan dengan mereduksi-Nya
menjadi alat untuk menghindari kebosanan, menciptakan kesenangan, meningkatkan
citra diri atau memberikan tatanan atau kewarasan tertentu bagi kehidupan
keluarga.
Mengklaim
jika sudut pandang Kristen adalah benar, tidak mengimplikasikan bahwa setiap
pengatahuan Kristen adalah komprehensif atau sempurna. Kemutlakan kebenaran
tidak mengimplikasikan kemutlakan kebenaran manusia yang kita miliki. Meski
demikian Alah menetapkan bahwa kita memakai “bejana-bejana tanah liat” untuk
menyatakan injil kepada dunia yang terhilang ini. Karena kebenaran Allah cukup
kuat untuk mempertahankan perikopnya tetap hidup setiap kita.
2.4.3 Pengacuan Pada Penjelasan Terbaik
Dalam
sebuah argumentasi abduktif, dimana kekristenan di presentasikan sebagai
wawasan dunia atau system konseptual yang paling baik di dalam menjelaskan
setiap dimensi kehidupan ini, para apologet Kristen tidak perlu meminta orang
banyak untuk mengambil lompatan iman yang buta ke dalam kegelapan atau untuk
bermain di dalam permaianan bahasa yang baru untuk melihat apakah hal tersebut
akan menolong mereka. Atau untuk bergabung didalam komunitas baru hanya demi
bergabung dengan komunitas baru itu sendiri.
Wawasan
dunia postmodern meruntuhkan dirinya sendiri karena adanya inkonsistensi secara
logis, tidak memadai secara moral, dan tidak sanggup mengidentifikasi dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdalam. Keberadaan alam semesta
sebagai system yang kontingen dan terancang. Paling baik di jelaskan oleh satu
pencipta yang nonkontingen,yang tidak tergantung pada hal apapun diluar diriNya
sendiri. Dan yang menciptakan alam semesta untuk beroperasi di dalam berbagai
cara yang berhubungan dengan tujuan. Satu-satunya hukum bagi moral yang ojektif
adalah eksistensi dari satu pemberi hukum moral objektif yang merupakan
sumber,standar,stipulator dari yang baik bagi ciptaan-Nya dan apa yang
memberikan penghormatan bagi sang pencipta.
Upaya-upaya
apologetika harus menjelaskan bahwa kekristenan merupakan situasi dengan
taruhan yang tertinggi. Perkara surga dan neraka, jika injil itu benar dan
seseorang menolaknya, maka terdapat konsekuensi yang berbahaya di dalam
kehidupan sekrang ini dan kehidupan yang mendatang.seeorang kehilangan
persekutuanya dengan Allahdan dengan para pengikut Allah di bumi ini, dan
mewarisi terpisahnya kekal dengan Allah dan semua hal yang baik di bumi ini. [5]
Simpulan
Pada
zaman postmodern tidak mengizinkan adanya klaim kebenaran yang absolut dan
pembuktian kebenaran yang mutlak atau kebenaran tertinggi di atas kebenaran
lain. Sebagai orang percaya kita harus memberitakan hal yang sesungguhnya.
Kebenarn yang absolut adalah hanya milik Allah yang sesuai dengan Alkitab yang
menjadi buku tuntunan bagi orang percaya. Apologetika tag boleh di pahami
sebagai upaya untuk mengemangkan system penyataan dan argumentasi yang
sempurna, yang bisa membuktikan iman kita satu kali untuk selamanya.
Sebaliknya, apologetika merupakan strategi untuk mempresentasikan suatu kasus
yang menarik bagi permisa di dalam satu diskusi yang unik dengan masyarakat
yang ada saat ini. Karena ini adalah suatu urusan surge atau neraka sehingga
hal itu harus benar-benar kita lakukan dan dengan segenap hati kita untuk membuktikan kebanaran yang
sesungguhnya.
[1] William W. Klein, Craig L. Blomberg
and Robert L. Hubbard, Jr., Introduction to Biblical
Interpretation (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 2004), 71
[3] Johnson T.K. Lim, Hebrew,
Hermeneutics and Homiletics: Collected Works with New Essays and Sermons of
Johnson T.K. Lim (Hongkong: ABGTS Publication, 2010), 210.
[4] Kevin O.
Donnel, Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 134.
[5]
Douglas Groothuis. Pudarnya Kebenaran.(Surabaya. Momentum.2003)hlm. 179