Jumat, 21 April 2017

Metode berapologetika di era Postmodern


Metode berapologetika di era Postmodern
Bab I
1.1  Latar Belakang masalah
Post modernisme secara harafiah dapat diartikan sebagai sebuah masa setelah masa modern, pun dapat diartikan sebagai sebuah zaman yang melahirkan manusia dengan pemikiran yang boleh jadi melawan konsepsi-kosepsi yang dipegang oleh modernisme itu sendiri. Post modernisme menjanjikan sebuah pemahaman akan sebuah dunia baru dengan gejala pemikiran manusia akan perkembangan dunia yang semakin cair dan luwes. Josh McDowell & Bob Hostetler menawarkan definisi berikut mengenai postmodernisme: "Postmodernisme adalah suatu pandangan dunia yang ditandai dengan keyakinan bahwa tidak ada kebenaran dalam pengertian objektif. Tetapi Postmodernisme diciptakan, bukan ditemukan. Kebenaran adalah yang diciptakan oleh budaya spesifik dan hanya ada di budaya.
Jadi bisa disimpulkan bahwa postmodern menolak segala kebenaran objektif dan mutlak.  Satu-satunya kebenaran yang layak dipercaya adalah “kebenaran bersifat relatif”. Kepercayaan terhadap akal budi digantikan dengan kepercayaan terhadap pengalaman atau perasaan tiap-tiap individu berdasarkan pengalaman.
Ini berarti postmodern tidak mengizinkan adanya klaim kebenaran yang absolut dan pembuktian kebenaran yang mutlak atau kebenaran tertinggi di atas kebenaran lain. Setiap orang bebas menafsirkan setiap realitas tanpa suatu standar apapun dan semuanya harus diakui dan dihargai sebagai kebenaran. Kebenaran bersifat relative, kebenaran bergantung pada setiap subjek. Namun demikian sebenarnya kebenaran bagi postmodern bukan sepenuhnya subjektif individualis. Subjektivitas postmodern adalah subjektivitas komunal, sebab kebenaran merupakan kesepakatan komunal.
1.2  Rumusan  Masalah
Sesuai dengan yang di atas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana cara melakukan apologetika terhadap orang yang mempuyai faham Postmodern ?

1.3  Tujuan Penelitian
Sebagai orang percaya yang mempuyai tugas untuk memberitakan Injil kepada semua orang, dan pada masa postmodern ini banyak orang yang tidak menyakini akan keberadaan Allah. Maka tujuan penulisan dari karya ini adalah bagaimana kita berapologetika denga  orang yang mempuyai faham postmodern.







Bab II
2.1.  Pengertian PostModern
Istilah ini membedakan dengan masa pra modern, maupun modern, meskipun masa post mdern sesungguhnya anak dari modernisme. Kalau Protestanisme menghasilkan pencerahan, evangelicalisme menghasilkan modernisme, maka pentakostalisme menghasilkan atau paling tidak menjadi daya dorong yang sangat besar bagi postmodernisme Masa pra modern adalah masa dimana otoritas budaya berjalan dengan stabil, tanpa dipertanyakan dan dikritisi, termasuk keyakinan-keyakinan religius. Pendek kata manusia pra modern menerima apa saja yang diajarkan oleh kebijakan-kebijakan tradisional dan lembaga yang dianggap berotoritas, sehingga budaya berlangsung relatif stabil karena tanpa gejolak yang berarti seperti masa setelahnya. Sedangkan masa Modern adalah masa dipertanyakannya atau lebih tepat disangsikannya otoritas budaya berdasarkan penalaran manusia. Hal-hal yang dipertanyakan bukan saja hal-hal berkenaan dengan norma-norma budaya, tetapi juga nilai-nilai religius. Grothuis mengatakan: Modernisme dimulai dengan upaya untuk memenuhi realitas objektif tanpa perlu kembali pada wahyu ilahi atau tradisi religius. Dengan demikian keyakinan terhadap kemampuan akal budi manusia mencapai puncak yang sangat tinggi, mengantikan wahyu ilahi. Rasio manusia dianggap akan mampu menjawab segala realita yang ada, termasuk dalam ranah moral dan religius. Di Eropa tempat kelahiran dari modernisme sekaligus juga tempat berkembangnya kekristenan, Alkitab di sangsikan kebenarannya dan dihakimi berdasarkan akal budi dan ilmu pengetahuan. Mengenai postmodern, Grothuis mengatakan: Menurut mereka ide tentang kebenaran objektif harus ditinggalkan bersama dengan sisa-sisa modernisme, yang dianggap upaya menyesatkan dari abad pencerahan, yang ingin mendapat kepastian objektif bagi perkara-perkara filosofis, ilmiah dan moral. Bagi mereka kita saat ini berada dalam era postmodern dan telah meninggalkan semua usaha yang hebat itu dibelakang, demi mendapatkan tujuan-tujuan yang lebih sederhana.
Yongky Karman secara meyakinkan mengatakan: Postmodernisme menyerang status khusus kebenaran yang satu, universal, total, dan absolut sebagaimana dipahami dalam modernisme. Kebenaran tunggal dan universal tidak diakui. Yang ada hanya kebenaran-kebenaran yang benar untuk setiap masyarakat atau komunitas. Maka kebenaran dipahami sebagai terpecah-pecah kedalam kebenaran-kebenaran yang sederajat tanpa acuan normatif tunggal di luarnya. Tidak ada tradisi atau ideologi yang berdiri diatas tradisi yang lain atau ideologi yang lain. Yang diyakini seseorang sebagai benar bukan lagi kebenaran tunggal melainkan bagian dari pluralisme kebenaran
2.2. Tantangan  Postmodern terhadap Teologi
Postmodern menempatkan begitu banyak tantangan terhadap teologi Kristen. Orang-orang yang menerima ide-ide postmodern percaya bahwa teologi Kristen harus meninggalkan sisa-sisa keterikatanya dengan modernism dan menerima model baru yang lebih sesuai dengan pemikiran postmodern. Ada pula pihak lain yang kurang radikal, tetapi tetap menerima postmodernime sebagai perkembangan yang bermanfaat, yang bisa membuka jalan-jalan pemikiran dan relevansi yang baru bagi teologi.
Tantangan dari Postmodern terhadap Teologi adalah dengan mengkritik bahasa, karena ada yang mempuyai pendapat jika Alkitab sebagai wahyu yang proposional merupakan hal yang biasa di pertanyakan atau bahkan salah. Mereka berargumentasi bahwa pandangan kita akan alkitab harus di evaluasi kembali. Karena bagi mereka pendapat yang selama ini adalah suatu hal yang tidak benar. Yang kedua adalah, ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa teologi harus mengutamakan natur narasi dan bukanya sistematik yang abstrak dan konseptual. Panaturan kisah Kristen harus menggantikan penetapan doktrin Kristen. Pandangan-pandangan ini perlu ditelaah dengan cermat agar teologi bisa bangkit menjawab tantangan postmodern.
2.2.1. Preposisi, Kebenaran, dan Teologi
Dapat di definisikan jika tugas dari telogi adalah mengidentifikasi dan merumuskan secara logis. Koheren, dan menyakinkan, kebenaran yang di wahyukan di dalam Alkitab. Pembelaan bagi wahyu proposional selalu merupakan ajaran sentral dari kaum injili dan prinsip utama di dalam perdebatan mengenai inerransi Alkitab. Dengan kata lain Alkitab adalah informativ dan benar di dalam setiap perkara yang dibicarakanya. Alkitab mewahyukan pengetahuan tentang natur Allah, manusia, etika, sejarah dan peristiwa-peristiwa yang akan datang, wahyu ini datang melalui beragam budaya dan individu. Tatai ini semua tidak membuatnya tidak kurang proposional.
              Bahasa Alkitab. Tidak hanya terdiri dari penyataan deklaratif seperti “Yesus menangis.” Alkitab juga menyajikan pertanyaan (pernyataan Yesus “Allahku. Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku:”), dan seruan “Haleluya”. Tuturan puitis yang bersifat proposisional, meskipun mereka mungkin sangat imajinatif dan emosional. Ini merupakan bahasa metafora dari pertobatan, pengakuan, dan pengharapan.
2.2.2. Menggugat Hakikat Alkitab
Postmodernisme adalah gagasan post-strukturalisme yang lahir sebagai “bayi” sekularisme modern. Menurut Klein, gagasan postmodernisme terhadap kebenaran adalah jamak. Pemikiran ini mendukung ideologi pluralisme dimana tidak ada satu agama atau cara pandang (worldview) yang mengandung kebenaran mutlak.[1] Hal ini tentu saja menggugat hakikat Alkitab sebagai sebuah kebenaran dan satu-satunya kebenaran mutlak. Dalam pandangan ini, Alkitab diperlakukan sama dan sederajat dengan kitab-kitab lain dan tidak eksklusif diterima sebagai satu-satunya penyataan khusus Allah kepada manusia. Padahal menurut Erickson, Alkitab adalah buku yang berbeda karena Alkitab mencakup baik kehadiran Allah sendiri maupun kebenaran yang menginformasikan tentang diri-Nya.[2] Tentu saja sebagai buku yang merupakan penyataan khusus Allah, Alkitab memiliki wibawa dan otoritas. Postmodernisme justru menggugat kebenaran mutlak akan kewibawaan dan otoritas Alkitab tersebut.
2.2.3. Penafsiran Alkitab Yang Semaunya
pendekatan postmodernisme terhadap teks, sangat bertentangan dengan natur utama hermenetik yaitu eksegesa. Pendekatan hermenetik postmodernisme bukanlah teks atau konteks melainkan apa yang menjadi pikiran atau wawasan pembaca saat membaca teks Alkitab. Metodologi ini membuka ruang yang selebar-lebarnya untuk rekontekstualiasi, sesuatu yang sangat berbahaya dan membelokkan kebenaran menurut kemauan penafsir, yang oleh Lim disebut hermeneutical pitfalls.[3] Mengapa disebut berbahaya, karena penafsir hanya akan memperlakukan teks Alkitab sebagai kumpulan dari ide-ide manusia belaka dan menolaknya sebagai ide Allah yang diinspirasikan kepada manusia. Mengapa hal  ini terjadi? Kembali kepada pemikiran Derrida, konsepnya tentang Allah telah mengalami dekonstruksi. Arti Allah bagi Derrida menurut salah seorang komentator, John D. Caputo dalam Deconstruction in a Nutshell, adalah sesuatu “Yang Lain”, maksudnya Allah dapat disebut dengan nama lain seperti “keadilan, keramahan, kesaksian, anugerah dan demokrasi. “Karena Allah adalah nama yang lain, tiap yang lain, tidak peduli siapa.”[4]
2.2.4. Penerimaan Naskah di luar kanon
Dekonstruksi sebagai salah satu natur dari postmodernisme memberikan ruang untuk membongkar struktur dan membentuknya kembali dengan menerima hal-hal marjinal. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima dalam konteks finalitas kanon Alkitab. Kitab, ayat dan isi Alkitab sudah selesai dan tidak dapat dikurangi atau diganggu gugat. Demikian juga dengan kebenaran yang diberitakannya baik di dalam Perjanjian Lama maupun di dalam Perjanjian Baru. Tidak ada hal yang perlu dipertanyakan lagi. Bahaya dari dekonstruksi adalah sikapnya yang terbuka untuk menerima kebenaran di luar struktur dan dianggap sebagai hal yang mungkin lebih benar dibandingkan yang selama ini diyakini benar. Jika ini diterapkan terhadap Alkitab, maka hal itu sama saja dengan arti menolak kanon, menerima surat-surat yang pernah ditolak oleh kanon dan menolak kebenaran yang diungkap di dalam kanon resmi. Maka tidaklah mengherankan, di abad 21, berbagai pemikiran sebagai produk dekonstruksi mengalir sebagai arus yang kuat. Penerimaan terhadap konsep alternatif mulai muncul. Beberapa penerbit mulai secara konsisten mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dulu dianggap sebagai bidat oleh Bapa-bapa Gereja. Naskah-naskah “alternatif” itu kemudian disandingkan sebagai upaya dekonstruksi terhadap finalitas kanon Alkitab.


2.3. Bahaya Yang Perlu Di Hindari
Memperhatikan efek-efek pemudaran kebenaran yang ada, bagaimana kekristenan membela wawasan dunia alkitabiah di dalam dunia postmodern? Karena apologetika merupakan seni dan bukan ilmu, maka tag ada cara resmi dalam membela iman Kristen. Pembelaan harus membela semangat zaman. Tatapi tidal semua strategi apologetika sama bijaknya. Ada sejumlah pihak yang mengkali sejumlah gereja terlalu terpaku pada metode aplogetika modern. Sehingga tag bisa menjawa tantangan dari dunia postmodern. Penulis sekaligus teolog Alister McGrath mereomendasikan apologetika yang berpusat pada pribadi yang bertujuan untuk tetap setia pada Injil sementara menjamin bahwa aologetika ini menjawab tuntas situasu kontenpoler. Tag ada masalah dengan prinsip umum ini, meskipun kita tidak perlu mencampakan klaim kekristenan atas kebenaran.
2.3.1. kebenaran Khusus Yesus.
Penulis terkenal yang bernama Willimon mengatakan jika kebenaran yang ada di dalam Alkitab hanyalah milik Yesus. Dia mengasumsikan bahwa acuan pada kebenaran objektif menjadikan kebenaran terlalu murah, karena akan mudah di dapatkan oleh setiap orang tanpa adanya usaha. Dan ia menganggap itu adalah warisan yang buruk dari abad pencerahan. Yang merancang system-sistem kebenaran yang bisa didekati oleh satiap pribadi rasional. Wiilimon gagal dalam membuat perbedaan krusial yang sangat mendasar bagi apologetika. Karena tidak dapat memahami apa itu kebenaran objektif yang berkorespondensi terhadap realitas. Maka klaim kristus akan terserap ke dalam kontruktivisme postmodern.
Willimon mencampurka klaim metafisika- bahwa kebenaran objektiv berksistensi dengan klaim epistemologis tentang bagaimana pengetahuan akan kebenaran objektif didapatkan. Teologi natural membuat Willimon khawatir. Dia berpendapat bahwa pengacuan pada alam sebagai premis yang darinya kita menyimpulkan eksistensi Alah atas keteratura, dan bukanya menayakan “peraturan yang Alkitabiah”, Allah seperti apa yang bereksistensi ? Argumentasi dari alam kepada Allah memiliki banyak bentuk, ada yang menyakinkan. Ada juga yang tidak. Willimon semakin memperkeruh permasalahn dengan mengklaim bahwa  apa yang di janjikan Allah Israel dan gereja kepada kita bukanlah kebenran mutlak yang tereduksi menjadi proposisi, melainkan realitas kerajaan Allah dan kesatuan keka dengan Dia yang adalah jalan, kebenaran dan hidup. Karena dia mengacu pada bimbingan Roh Kudus sebagai bukti bahwa kebenaran Kristen tidak di hasilkan oleh pemikiran yang jernih. Ia merupakan karunia. Ini adalah dikotomi yang salah. Karena Roh bisa memimpin kita pada kebenaran melalui pemikiran yang jernih mengenai klaim kebenran Kristen. Jika mereka pada akhirnya percaya pada Injil, segala kemuliaan bagi Allah kaena karunia-Nya ini.
2.3.2.  menentang kebanaran objektif
Philip Kenneson mempresentasikan sebuah pandangan yang baru. Bahkan ia berani bertindak radika dengan pandangan yang barunya ini. Ia berpendapat jika kepercayaan kepada kebenaran yang objektif sebagai pandangan yang mustahil yang tidak berasal dari manapun. Ide abad pencerahan tentang kebenaran objektif sebagai kebenaran yang berkorespondensi dengan realitas merupakan perputaran yang salah secara filosofis. Pandangan ini menimbulkan kecemasan menyangkut verivikasi kepercayaan-kepercayaan mana yang berkorespondensi dengan realias.
Jika kita melihat baik-baik dalam Alkitab. Kita akan menemukan jika kebenran yang terdapat di dalamnya adalah kebenaran yang objektif. Orang-orang Kristen sepanjang sejarah percaya bahwa klaim Alkitab berkorespondensi dengan realitas. Pandangan ini bukanlah suatu pandangan yang tag berasal dari manapun. Melainkan pandangan yang berasal dari suatu tempat. Allah memandang setiap tempat, jadi pandanganya merupakan pandangan dari segala tempat. Kita yang terbatas di ruang dan waktu. Bukan berarti jika pandangn ini mutlak bertentangan dengan realitas yang ada.
Paradigma pandangan kebaneran dan epistemology versi kanneson bersifat kontradiktif dan menghancurkan dasar setiap apologetika yang rasional bagi kebenaran iman Kristen. Jika tidak ada kebenaran yang objektif maka taka da kesaksian Kristen bagi kesaksian tersebut. Tag ada perwujudan dari kebanaran tersebut.. da nada usaha apologetika sama sekali. Kita hanya di tinggalkan dengan redeskrispsi relativisme.


2.4. apologetika terhadap orang Postmodern
Setelah mengerti bagaimana serangan dari  postmodern yang pendekatanya mudah untuk dilihat. Pendekatan yang di contohkan yang di lakukan oleh kaum postmodern tidak memiliki kekuatan untuk apologetika. Tag memiliki dukungan argumentasi dan bukti. Tag memiliki keunikan apalagi hal yang provokatif untuk di sampaikan kepada orang-orang postmodern. Bagaimana cara kita mengkomunikasikan pesan kekrisenan kepada orang-orang yang terpengaruh oleh kepercayaan postmodern?
2.4.1. mengargumentasikan kebenaran di pasar
Di masa dimana universalitas disamakan dengan metanarasi totaliter dan hegemoni yang sudah using atau bahkan berbahay, kekristenantetap dimaksudkan untuk menjadi agam yang universal. Apologetika bagi orang yang hidup dimas a postmodern harus menempatkan konsep kebenaan di pusat. Istilah kebenaran merupakan istilah yang begitu sering disalahgunakan. Dilemahkan dan diselewengkan. Oleh karena itu, para apologetika wajib mendefenisikan dan mengilustrasikan istilah ini, dan kemudian menghadapi orang-orang postmodern sesuai denganya. Kebenaran Alkitabiah  yang sesuai denga realitas dan memegang realitas Allah dengan segenap keberadaan kita. Kebenaran Alkitabiah juga kebenaran yang diwahyukan, objektif, mutlak, antithesis, sistemik penting, dan memiliki nilai intrisik.
2.4.2. Spiritual Sejati : Kebenaran Bagi Jiwa
Postmodern meggoda kita untuk menciptakan spiritualitas sesuai dengan rekaan diri sendiri atau kembali pada tradisi rohani dari kelmpok etnis atau rasnya tanpa memedulikan kebenaran objektif atau rasionalitas. Untuk meghadapi ini apologetika Kristen harus menakan spiritualitas sebagai prangkat di dalam kerangka kerja kebenaran objektif. Jika tidak. Spiritualitas Kristen hanya akan dilihat sebagai salah satu opsi  lain yang pragmatis, relative dan subjektif. Allah akan di rendahkan dengan mereduksi-Nya menjadi alat untuk menghindari kebosanan, menciptakan kesenangan, meningkatkan citra diri atau memberikan tatanan atau kewarasan tertentu bagi kehidupan keluarga.
Mengklaim jika sudut pandang Kristen adalah benar, tidak mengimplikasikan bahwa setiap pengatahuan Kristen adalah komprehensif atau sempurna. Kemutlakan kebenaran tidak mengimplikasikan kemutlakan kebenaran manusia yang kita miliki. Meski demikian Alah menetapkan bahwa kita memakai “bejana-bejana tanah liat” untuk menyatakan injil kepada dunia yang terhilang ini. Karena kebenaran Allah cukup kuat untuk mempertahankan perikopnya tetap hidup setiap kita.
 2.4.3 Pengacuan Pada Penjelasan Terbaik
Dalam sebuah argumentasi abduktif, dimana kekristenan di presentasikan sebagai wawasan dunia atau system konseptual yang paling baik di dalam menjelaskan setiap dimensi kehidupan ini, para apologet Kristen tidak perlu meminta orang banyak untuk mengambil lompatan iman yang buta ke dalam kegelapan atau untuk bermain di dalam permaianan bahasa yang baru untuk melihat apakah hal tersebut akan menolong mereka. Atau untuk bergabung didalam komunitas baru hanya demi bergabung dengan komunitas baru itu sendiri.
Wawasan dunia postmodern meruntuhkan dirinya sendiri karena adanya inkonsistensi secara logis, tidak memadai secara moral, dan tidak sanggup mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdalam. Keberadaan alam semesta sebagai system yang kontingen dan terancang. Paling baik di jelaskan oleh satu pencipta yang nonkontingen,yang tidak tergantung pada hal apapun diluar diriNya sendiri. Dan yang menciptakan alam semesta untuk beroperasi di dalam berbagai cara yang berhubungan dengan tujuan. Satu-satunya hukum bagi moral yang ojektif adalah eksistensi dari satu pemberi hukum moral objektif yang merupakan sumber,standar,stipulator dari yang baik bagi ciptaan-Nya dan apa yang memberikan penghormatan bagi sang pencipta.
Upaya-upaya apologetika harus menjelaskan bahwa kekristenan merupakan situasi dengan taruhan yang tertinggi. Perkara surga dan neraka, jika injil itu benar dan seseorang menolaknya, maka terdapat konsekuensi yang berbahaya di dalam kehidupan sekrang ini dan kehidupan yang mendatang.seeorang kehilangan persekutuanya dengan Allahdan dengan para pengikut Allah di bumi ini, dan mewarisi terpisahnya kekal dengan Allah dan semua hal yang baik di bumi ini. [5]

Simpulan
Pada zaman postmodern tidak mengizinkan adanya klaim kebenaran yang absolut dan pembuktian kebenaran yang mutlak atau kebenaran tertinggi di atas kebenaran lain. Sebagai orang percaya kita harus memberitakan hal yang sesungguhnya. Kebenarn yang absolut adalah hanya milik Allah yang sesuai dengan Alkitab yang menjadi buku tuntunan bagi orang percaya. Apologetika tag boleh di pahami sebagai upaya untuk mengemangkan system penyataan dan argumentasi yang sempurna, yang bisa membuktikan iman kita satu kali untuk selamanya. Sebaliknya, apologetika merupakan strategi untuk mempresentasikan suatu kasus yang menarik bagi permisa di dalam satu diskusi yang unik dengan masyarakat yang ada saat ini. Karena ini adalah suatu urusan surge atau neraka sehingga hal itu harus benar-benar kita lakukan dan dengan segenap hati kita  untuk membuktikan kebanaran yang sesungguhnya.




[1] William W. Klein, Craig L. Blomberg and Robert L. Hubbard, Jr.,  Introduction to Biblical Interpretation (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 2004), 71
[2] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume Satu (Malang: Gandum Mas, 2004), 315.

[3] Johnson T.K. Lim, Hebrew, Hermeneutics and Homiletics: Collected Works with New Essays and Sermons of Johnson T.K. Lim (Hongkong: ABGTS Publication, 2010), 210.
[4] Kevin O. Donnel, Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 134.
[5] Douglas Groothuis. Pudarnya Kebenaran.(Surabaya. Momentum.2003)hlm. 179 

Kamis, 13 April 2017

berkencan yang benar

PEMBINAAN WARGA GEREJA REMAJA:
CINTA REMAJA DAN MASALAHNYA

Bab I
1.1 Pendahuluan

Pada saat ini para remaja atau pemuda dalam gereja akan menjalin sebuah ikatan dengan lawan jenis yang biasa di sebut pacaran. Kita semua membutuhkan cinta kasih,[1] Mengenai usia berpacaran, Alkitab tidak menjelaskan tentang batas usia menjalin hubungan berpacaran atau berkencan. Tetapi Alkitab mencatat tentang suatu hubungan sepasang kekasih (Maria dan Yusuf) yang pada saat itu menjalin hubungan pertunangan. Alkitab tidak membahas tentang pacaran. Namun dalam Alkitab lebih dikenal istilah pertunangan. Karena pada saat itu, ketika seorang pria dan wanita menjalin hubungan, mereka sudah memiliki visi atau tujuan kedepan untuk melanjutkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius yaitu menikah. Hal ini yang jarang terjadi pada dunia pacaran anak muda (remaja) jaman sekarang. Terkadang, bagi remaja, berpacaran sifatnya temporer (sementara), dan tanpa komitmen. Ini terjadi karena usia remaja memulai hubungan pacaran masih terlalu muda bahkan kecil, untuk dapat memikirkan pertimbangan-pertimbangan yang seharusnya dilakukan sebelum menjalin hubungan berpacaran, dan juga dasar dalam menjalin hubungan lebih menjurus kepada penilaian fisik dan pemuasan nafsu berhala, atau dengan kata lain, mereka menggunakan cinta yang bersifat eros. Tidak jarang juga hubungan berpacaran dilakukan hanya demi mendapat kepuasan psikologis seperti, pengakuan dari teman/grup pertemanan (gank) untuk mendapat “penghargaan”  karena telah mempunyai pacar yang (mungkin) popular disekolah, terpandai disekolah, tercantik/terganteng disekolah. Oleh sebab itu gereja atau hamba Tuhan perlu melakuka sebuah pembinaan kepada remaja dan pemuda Kristen agar melakukan pacaran yang sesuai dengan Alkitab.
            Cinta dalam kelompok remaja sering juga dikenal dengan sebutan “cinta monyet” yang memiliki semangat mula-mula yang sangat besar, kurang pertimbangan dan biasanya hanya berdasarkan ketertarikan fisik belaka. Cinta remaja merupakan salah satu hal yang manis dan menarik dalam suatu fase kahidupan manusia. Kebanyakan dari kita memiliki kisah sendiri tentang cinta remaja yang pernah kita alami dengan seseorang yang kita anggap ideal untuk menjadi pasangan kita atau yang sering dikenal dengan istilah “tipe idaman saya”. Namun dalam kemanisan hubungan cinta remaja itu, ada banyak remaja yang terjebak dan terperangkap dalam jeratan cinta yang labil itu. Kebanyakan diataranya membawa dampak yang cukup serius, baik dalam waktu yang sedang dijalani maupun masa depan remaja itu. Oleh karena itu, sebagai pembimbing dari remaja, kita perlu mengetahui masalah-masalah percintaan khas remaja dan cara menjadi konselor yang baik bagi remaja tersebut, karena masalah yang sering dianggap remeh oleh sebgaian orang ini ternyata perlu mendapatkan perhatian mendalam dari kita orang dewasa.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan  pendahuluan di atas, maka rumusan masalahnya adalah bagaimana pembinaan kepada remaja dan pemuda yang sedang berpacaran agar saat berpacaran sesuai dengan Prinsip-Prinsip yang ada di dalam Alkitab dan dapat menjadi terang


















Bab II
IsI
2.1 Pengertian Pacaran secara Umum
Pacaran merupakan suatu tahap menuju jenjang yang lebih tinggi atau pernikahan, atau pacaran dapat  juga sebagai tahap membentuk pribadi, atau belajar mempelajari sikap lawan jenis, juga belajar bagaimana dalam menghadapi masalah dalam suatu hubungan, dan bagaimana cara kita menyelesaikan masalah itu.
Dalam berpacaran juga sangat diperlukan restu orang tua, karena orang tua merupakan wali Tuhan di dunia dan orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi kita. Pacaran merupakan dua orang dan dua sifat berbeda bertemu menjadi satu, tentu akan banyak perbedaan, maka sangat diperlukan sikap pengertian. dan apabila terjadi ketidakcocokan sangat diperlukan rekonsiliasi. tuntutan tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah baru, maka sifat pengertian sangat diperlukan, disamping itu tentu harus ada sikap kejujuran dan keterbuakaan, dan kepercayaan.
Pacaran itu pasti akan timbul hal-hal yang baik maupun tidak, artinya kalau pacaran itu dijalankan sesuai dengan aturannya, kemudian tidak macam-macam yang artinya tidak melanggar jalur yang ditetapkan Tuhan, maka sebagian besar akan menjalankannya dengan penuh kebahagiaan. Namun sebaliknya, apabila pacaran itu dijalankan dengan semau saya, kemudian tidak takut pada Tuhan, maka jangan harap berkibat baik. Di dunia bebas apalagi di Negara kita yang sudah 60 tahun merdeka, Anda bebas berpacaran, tetapi bebas dalam pengertian bukan sembarangan. Tetap saja ada batas-batasnya, ada batas etika, moral ,sopan santun.




2.2. Pacaran menurut pandangan Kristen
Tuhan menginginkan yang terbaik untuk kita dalam setiap aspek kehidupan. Termasuk diantaranya hubungan kita dengan kekasih/pacar. Kita berkencan untuk mendapatkan kesenangan, persahabatan, pengembangan kepribadian dan memilih kawan, bukan untuk popularitas atau untuk merasa aman. Jangan biarkan lingkungan pergaulan memaksa kamu memasuki situasi kencan yang kurang pantas. Ketahuilah bahwa lebih dari 50% remaja putri dan lebih dari 40% remaja putra tidak pernah berkencan pada masa-masa SMA. Alkitab memberikan kita beberapa pegangan yang jelas untuk membimbing kita dalam membuat keputusan mengenai soal kencan/pacaran.
Pacaran artinya mempunyai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan atas dasar cinta kasih. Artinya, kalau kita sudah siap mempunyai pacar, seharusnya kita memulai mengenal pribadi, karakter, kebiasaan, dan tutur kata[2].
Mengenai usia berpacaran, Alkitab tidak menjelaskan tentang batas usia menjalin hubungan berpacaran atau berkencan. Tetapi Alkitab mencatat tentang suatu hubungan sepasang kekasih (Maria dan Yusuf) yang pada saat itu menjalin hubungan pertunangan. Alkitab tidak membahas tentang pacaran. Namun dalam Alkitab lebih dikenal istilah pertunangan. Karena pada saat itu, ketika seorang pria dan wanita menjalin hubungan, mereka sudah memiliki visi atau tujuan kedepan untuk melanjutkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius yaitu menikah. Hal ini yang jarang terjadi pada dunia pacaran anak muda (remaja) jaman sekarang. Terkadang, bagi remaja, berpacaran sifatnya temporer (sementara), dan tanpa komitmen. Ini terjadi karena usia remaja memulai hubungan pacaran masih terlalu muda bahkan kecil, untuk dapat memikirkan pertimbangan-pertimbangan yang seharusnya dilakukan sebelum menjalin hubungan berpacaran, dan juga dasar dalam menjalin hubungan lebih menjurus kepada penilaian fisik dan pemuasan nafsu berhala, atau dengan kata lain, mereka menggunakan cinta yang bersifat eros. Tidak jarang juga hubungan berpacaran dilakukan hanya demi mendapat kepuasan psikologis seperti, pengakuan dari teman dan yang akan grup pertemanan (gank) untuk mendapat “penghargaan” karena telah mempunyai pacar yang (mungkin) popular disekolah, terpandai disekolah, tercantik/terganteng disekolah.
2.3. Tahapan Pacaran
Dalam melakukan sebuah hubungan pacaran terdapat tiga tahapan, dimana masing-masing tahapan akan menggambarkan perbedaan suatu kualitas dalam hubungan pacaran. Tahapan dalam pacaran tersebut adalah
2.3.1. Berkenalan
Perkenalan bisa terjadi karena dua orang berada dilingkungan yang sama, merasa tertarik, dan juga perkenalan bisa terjadi dipertemuan yang tidak disengaja atau disengaja (blind date/ jasa mak comblang). Pertimbangan awal dari perkenalan remaja yang akan berpacaran biasanya diprioritaskan pada hal fisik, popularitas, dan materi. Tetapi hal yang seharusnya menjadi prioritas utama, yaitu status iman, karakter, seringkali dikesampingkan bahkan tidak dipertimbangkan sama sekali.
Pada tahap kenalan ini sebaiknya kita mencari seseorang yang memiliki kesamaan persepsi, pandangan hidup, tujuan hidup, dan kecocokan. Biasanya orang jatuh cinta karena ada kesamaan, bukan hanya karena cantik/tampan semata.
2.3.2. Penjajakan (PDKT/Pendekatan)
Setelah berkenalan, biasanya remaja melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu penjajakan atau PDKT. Tahap ini sangat menentukkan apakah hubungan akan berlanjut atau berhenti sampai disitu. Tahap PDKT adalah tahap observasi yang akan berlangsung sampai tahap pernikahan. Pada tahap ini, dua pribadi yang saling mengasihi baru akan memulai mengenal karakter / pribadi masing-masing. Tahap PDKT ini yang menjadi tahap batu uji cinta. Walter Trobisch, seorang pendeta dari Camerun, menuliskan beberapa batu uji cinta:
2.4. Ujian Pacaran
      Dalam menjalin sebuah hubungan pacaran pastilah akan menghadapi beberapa masalah. Oleh karena itu agar menjalin pacaran dengan benar dan agar berjalan sesuai dengan baik berikut adalah beberapa ujian yang aka nada dalam menjalin sebuah hubungan pacaran.
2.4.1. Ujian kesetiaan
Ams.19:22, sifat yang diinginkan pada seseorang ialah pada kesetiaannya.Dalam berpacaran kesetiaan perlu diperhatikan. Orang yang tidak setia dalam berpacaranbiasanya juga tidak setia ketika mereka sudah menikah. Orang yang takut kepada Tuhan akan setia kepada Tuhan. Dan orang yang setia kepada Tuhan pasti akan setia kepada kita.
2.4.2. Ujian pertengkaran
Yang paling penting dalam pertengkaran adalah kemampuan untuk saling mengampuni, jika terjadi konflik. Sikap perfeksionis akan menghambat seseorang dalam menenmukan psangan yang tepat.

2.4.3  Ujian Waktu
Dalam cinta ada sesuatu yang sangat berkesan yang membuat kita ingat, memikirkan, dan selalu ingin berada disisinya. Cinta sejati tidak akan pupus dimakan waktu dan tidak akan pudar ketika pasangan tidak cantik/ tampan lagi. Ini adalah tentang “I LOVE YOU” bukan “I LOVE YOUR BODY”. Alkitab member contoh yang sangat jelas, yaitu Yakub yang tergila-gila pada Rahel. 7 tahun dianggap seperti beberapa hari saja karena cintanya kepada Rahel (kej. 29: 20).
2.4.4. Mengambil keputusan.
Setelah melewati tahap PDKT yang baik, biasanya remaja akan membuat keputusan, apakah akan berpacaran dengan orang tersebut atau tidak. Jika para remaja laki-laki biasanya bingung, mau menyatakan perasaan cinta atau tidak, begitu juga dengan remaja perempuan. Mereka bingung menerima pernyataan cinta tersebut atau tidak.
2.5.  MASALAH PERCINTAAN REMAJA
Ketika remaja menjalin sebuah hubungan pacaran pastilah mempuyai beberapa masalah. Masalah yang sering dijumpai pada hubungan percintaan remaja akan menyababkan para remaja akan menghadapi stress atau bahkan depresi, masalah-masalah yang aka nada antara lai  adalah :
2.5.1 Berpacaran dengan orang yang tidak seiman.
2 Kor. 6: 14. “Terang” dan “gelap” tidak mungkin bersatu. Cara berpikir orang beriman jelas berbeda dengan orang yang tidak mengenal Kristus. Dalam Yohanes 14:15 Yesus berkata, “jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” Tuhan telah memberi harapan petunjuk yang jelas di dalam Alkitab. Anda harus bertanya kepada diri sendiri, “apakah saya benar-benar mengasihi Tuhan? Apakah saya berkeinginan kuat untuk menyenangkan Dia sehingga saya mau patuh pada petunjukNya meski itu cukup berat”
Kita perlu mengerti mengapa Tuhan memberikan perintah-perintah di dalam Alkitab. Dengan demikian, kita tidak akan bereaksi buruk terhadap petunjuk-petunjuk Alkitabiah. Kita bisa meyakini bahwa kalau Tuhan melarang kita melakukan sesuatu, Ia tentu mempuyai alasan yang baik. Tuhan bukan Pribadi yang senang membrantas kesukaan. Ia tidak memburu orang-orang di bumi ini yang sedang senang dan berseru ke bawah, “ Hai kamu jangan senang” tidak Ia tidak pernah seperti itu.
Di dalam Alkitab banyak ayat yang melarang orang Kristen menikah dengan orang yang tidak percaya. Di dalam 2 Korintus 6:14. Di larangnya karena mereka akan berputar-putar pada lingkaran atau akan selalu berkelahi. Memang mereka bisa berhubungan secaa fisik, dan secara intelektual dan emosi. Tetapi tidak dapat berhubungan secara roh. Karena roh orang tidak percaya mati. Karena jika roh kita tidak benar maka akan berhubungan juga dengan yang lainya juga.
2.5.2. Cemburu
Pada masa remaja berpacaran, emosi mereka masih labil. Sehingga terkadang mereka merasa cemburu yang berlebihan dan terkadang tidak beralasan, dan akhirnya berimbas pada hubungan dengan pacarnya sendiri, teman, bahkan keluarga.
2.5.3. Kegalauan
Akibat dari emosi yang masih labil, remaja sangat mudah bahkan sensitive terhadap perasaannya terhadap orang yang mereka kasihi (pacar). Terkadang, ketika mereka bertengkar, remaja akan menjadi sedih, atau istilah yang sering digunakan pada saat ini mereka merasa sedang galau. Bahkan saat pacar tidak membalas sms, tidak menelpon, atau tidak ada kabar, remaja juga dengan mudah akan merasa “sedang galau”. Dampak paling parah dari rasa sedih/galau yang berlebihan bias membuat remaja depresi bahkan gila. Atau lebih parahnya bunuh diri.
2.5.4.      Seks
Seks sebenarnya adalah anugerah yang Tuhan beri untuk manusia bukan hanya untuk tujuan reproduksi, tapi juga Allah memandangnya sebagai sesuatu yang indah dan kudus, namun harus pada waktu dan tempat yang tepat. Artinya Allah tidak membenarkan hubungan seks sebelum pernikahan dan tidak membenarkan hubungan seks yang tidak wajar. Namun pada saat ini, manusia (remaja) kurang mengerti hakekat seks dan pengaplikasian seks dalam suatu hubungan. Seks yang seharusnya dilakukan pada saat telah menikah (Kej 2:24. Kid.2:7), bersifat suci, kudus, dan berharga, akhirnya menjadi tercemar. Mereka lebih cenderung menggunakan seks sebagai tanda bukti cinta dari pasangannya. Hal ini yang akhirnya menghancurkan banyak kehidupan remaja. Penyimpangan seksual yang sering dilakukan oleh remaja, antara lain:
a)      Porneia, kata ini menggambarkan macam-macam perbuatan seksual pranikah. Istilah ini menuju pada setipa kegiatan atau permainan seksual yang intim diluar hubungan pernikahan, termasuk menyentuh bagian-bagian kelamin atau menyikpakan ketelanjangan seseorang. Terangkum dalam pelanggaran moral yang dibenci Allah (Im 18:6-30; 20:11-12,19,19-21; I KOr 6:18; I Tes 4:3)
b)       Aselgeia, merujuk pada tidka adanya prinsip moral. Tidak bias menguasai diri secara seksual (I Tim 2:9)
c)      Pleonekteo, merampas kekudusan moral yang diinginkan Allah dengan memuaskan nafusnya sendiri. Membangkitkan nafsu seksual dari orang lain berarti mengeksploitasi orang tersebut.
Tuhan menghendaki jika seks hanya di lakukan dalam hubungan pernikahan. Seks itu bagaikan api, yang dapat membuat hangat rumah saat musim dingin, tetapi api juga dapat membuat rumah tersebut habis karena terbakar. Dengan tersebut dapat di katakana jika tempat yang paling tepat untuk melakukan seks adalah dalam naungan pernikahan. 
2.3. Pembinaan Remaja Kristen yang sedang pacaran
Lawrence O. Richards mengemukakan bahwa tujuan pembinaan warga gereja hanya dapat dipahami jika terlebih dahulu kita memahami tujuan gereja. Dari dasar pemikirannya tentang natur gereja sebagai organism yang hidup. Secara teologis panggilan gereja yang sering kita kenal antara lain ialah beribadah (liturgia), bersekutu (koinonia), pemberitaan (kerygma), mengajar (didache), melayani (diakonia), meneguhkan (profeteia), bersaksi (marturia). Oleh karena itu Gereja ini mempuyai kewajiban dalam melakukan suatu pembinaan kepada remaja yang sedang menjalin sebuah hubungan kepada orang yang biasa di sebut dengan pacaran.
2.3.1. Umur Untuk Berpacaran
            Saat berpacaran pada waktu umur yang tidak tepat akan menyebabkan seseorang sakit hati. Suatu hal, penelitian menunjukan bahwa semakin muda anda mulai berpacaran, semakin besar kemungkinan anda mulai bersunggguh-sungguh dan mencari pasangan yang tetap. Orang yang mulai mempuyai pasangan tetap pada usia yang lebih muda akan cenderung terlibat sex lebih mendalam karena banyak anak muda menjalani hidupnya dengan berpikir kalau apapun boleh[3], termasuk melakukan hubungan sex dengan pacar mereka. Mereka juga cenderung untuk menikah muda. Bahkan mereka mungkin  terpaksa menikah. Separuh dari remaja putri yang menikah di gereja sudah dalam keadaan hamil. Dan pernikahan yang terpaksa, sama seperti pernikahan orang-orang yang terlalu muda usianya, cenderung untuk gagal.
            Karena alasan ini dan alasan yang lain, maka tidak baik kalau mulai mencari-cari teman hidup selagi masih duduk di sekolah menengah. Tanyakan pada diri anda sendiri. “apakah saya akan memilih pasangan yang sama ketika saya berumur 25 dengan pasangan saya pada waktu umur 17 tahun ” bagi kenyakan dari kita, akan memilih jawaban yang tidak. Misalnya di sama saya merasa yakin saya jatuh cinta.[4]
 2.3.2. Harus Menyukai Diri Sendiri
Dalam diri remaja biasanya mereka tidak dapat menyukai dirinya sendiri, terkadang para remaja tidak dapat menerima keadaan apa adanya yang ada dalam dirinya. Merasa paling jelek karena pendek, tinggi, hitam, terlalu putih dan masih banyak lagi. Mereka selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, terkadang menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain. Dalam hal mengasihi orang lain kita harus terlebih dahulu mengasihi diri kita dahulu. Pendapat ini penting dan mengandung pengertian yang penting. Karena sebelum mengasihi orang lain, terlebih dahulu kita harus mengasihi diri sendiri. Dengan perkataan lain, kita harus menyukai diri kita terdahulu, baru orang lain akan menyukai kita.
Pengertian ini jelas terdapat dalam Alkitab. Yesus mengatakan bahwa kita harus mengasihi sesame manusia seperti kita mengasihi diri sendiri (Markus 12:31). Sebelum kita mengasihi orang lain, terlebih dahulu kita mengasihi diri sendiri dengan sehat. Maksunya bukan menjadi sombong akan diri sendiri atau tinggi hati, tetapi memiliki pandangan yang sehat terhadap diri sendiri.
Pengertian tentang terlebih dahulu mengasihi diri sendiri sebelum kita dapat dengan tulus mengasihi orang lain merupakan dasar hubungan pacaran yang sehat akan berhasil. Percaya diri adalah salah satu kunci hubungan kencan yang berhasil. Dan kunci untuk memperoleh percaya diri adalah menyukai diri anda sendiri[5]
2.3.3. bagaimana menolak ajakan untuk berpacaan
            Dalam hal berpacaran terkadang para remaja Kristen akan kesusahan dalam menolak ajakan berpacaran kepada orang lain. Terkadang malu, sungkan atau masalah yang lain. Hal yang paling utama adalah mengutamakan kehendak Tuhan dalam hidup kita. Terkadang para remaja mengutamakan dan menuruti arus hawa nafsunya. Bagaimana cara menolak ajakanya? Bisa dengan mengatakan jika maaf saya orang Kristen maka tidak dapat pergi denganmu.
            Agar dalam menolak kita dengan benar kita perlu memperhatika dua hal, yang pertama adalah perkataan kita, kita harus berkata dengan rendah hati dan dengan roh yang lembut. Kita jengan membuat orang itu tersakiti dengan perkataan kita. Yang kedua adalah menjelaskan dengan baik mengapa kita menolak ajakanya dan tidak mau pergi denganya. Jangan sampai kita membawa kekristenan kita menjadi alasan kita menolak ajakanya.
2.3.4. Memelihara Kesucian Seks
            Sebagai orang percaya, kita dalam menjalani pacaran harus tetap menjaga kesucian kita dalam berpacaran. Ada beberapa hal praktis yang dapat kita lakukan untuk mencegah agar kita tidak terperangkap ke dalam godaan seks yang terlalu sulit untk di atasi. Dalam 1 Korintus 10:13 Tuhan berjanji kepada kita bahwa Ia tidak akan membiarkan kita di cobia melampaui kekuatan kita. Namun bagaimanapun juga, janji itu tidak dapat di terapkan kalau kita sengaja menceburkan diri ke dalam keadaan yang tidak bisa kita atasi, atau sengaja memberi kesempatan kepada hawa nafsu untuk bangkit dan berkobar. Jadi, apa saja yang dapat kita lakukan agar kita tidak memberi kesempatan kepada hawa nafsu.
            Jika dalam berpacaran, pasangan kita membawa kita ke dalam hal yang tidak benar maka hal yang perlu kita lakukan adalah menolaknya dan kita harus dengan tegas mengatakan jika kita tidak akan  melakukan hal tersebut. Dan kita harus mengingatkan apa saja yang akan terjadi jika kita melakukan hal tersebut. Yang terpenting yang perlu dilakukan oleh para remaja Kristen supaya mereka dapat memelihara kesucian seks tersebut. Hal yang merupakan godaan terbesar adalah jika kita berkencan dengan orang yang mempuyai moral rendah. Tetapi kita perlu mengambil keputusan untuk menjaga agar pacaran yang di jalani tetap berpusat kepada Tuhan.
2.4. Menghadapi Putus Cinta Atau Cara Memutus Cinta
            Saat-saat yang paling menyakitkan dalam kehidupan seorang anak muda adalah dimana ia sedang menghadapi putus cinta. Hamper semua pemuda pernah merasakan putus cinta dan pernah merasa benar-benar terluka oleh karenanya. Putus cinta yang tidak baik dapat merusak perasaan, kerohanian, dan kesehatan seseorang. Jati diri seseorang yang di putus oleh sepihak dapat rusak karena apa penyebab ia di putus dan setelah itu akan merasa kesepian yang di sebabkan oleh sakit hati dan selalu mempuyai perasaan yang buruk kepada lawan jenis. Hal yang dapat di lakukan ketika kita di putus cinta dengan lawan sejanis adalah kita harus mempercayai Tuhan pasti sediakan seseorang yang lebih baik bagi kita. Saat berpacaran jika putus cinta adalah hal yang wajar tetapi jika sudah menikah kita harus tetap menjalani pernikahan itu seumur hidup, atau sampai mati.
            Hal yang perlu di lakukan ketika kita hendak memutus pasangab kita adalah dengan memberi tanda sebelumnya kepadanya. Kita perlu meminta nasehat kepada orang yang kita anggap mempuyai kerohanian yang lebih baik dari pada kita. Meskipun kita hendak memutuskanya kita harus bersikap baik kepadanya. Utarakan jika kita mengharagi hubungan yang sedang kita jalani denganya. Dan sudah sangat tertolong olehnya. Jangan sampai kita menjauhi secara tiba tanpa bilang apa-apa keadanya.



Bab III
Simpulan
Usia remaja identik dengan masa dimana mereka masuk kedalam tahap yang mengarah kelebih dewasa. Cinta remaja atau cinta monyet, pasti dialami setiap remaja. Pada tahap ini, remaja juga perlu dengan khusus dan serius dibimbing dalam Tuhan sehingga anak remaja tidak salah langkah. Pada tahap ini pula peran orangtua, Pembina remaja, hamba Tuhan sangat diperlukan. Dengan menjalin hubungan yang akrab dan hangat dengan setiap anak remaja yang kita layani, kita dapat dengan mudah mengarahkan mereka. Sekali lagi, tentu saja dengan memperhatikan latar belakang mereka, pola piker mereka, karakter mereka agar kita bias dengan mudah membangun kedekatan dengan mereka. Memang ada banyak metode yang disuguhkan untuk kita, sebagai pelayan anak remaja dalam melayani mereka,. Namun lebih tepat lagi, untuk menggunakan metode yang Tuhan Yesus terapkan ketika Ia mengajar anak muda yang banyak harta tersebut. Dengan penuh kasih, hangat dan terbuka, Tuhan Yesus membimbing anak muda itu. Dan ketika kita mendampingi anak remaja, kita dituntut juga untuk bisa mengerti keadaan mereka. Dalam masa merasakan cinta, dan berbagai masalahnya, kita dituntut juga untuk bisa menghargai perasaan remaja. Sehingga mereka bisa bercerita kepada kita, sehingga dengan mudah kita bisa membimbing mereka. Walaupun terdengar lucu atau bahkan norak, kita tidak bisa menertawakan mereka. Karena memang seperti itu fase kehidupan mereka. Hikmat yang daripada Tuhan juga sangat dibutuhkan dalam memahami karakter dan masalah-masalah remaja saat ini.




[1] Scott Kirby. 1989. Berkencan(Bandung: Lembaga Literatur Babtis), hlm.48.
[2] Yahya, Ayub. 2003. Bila Cinta Menyapa. Yogyakarta: Gloria Graffa.

[3] John c. Maxwell 2002. Remaja Hebat (Mitra Media) hlm.109.
[4] Ray E. Short . 1984. Seks, Berpacaran dan Cinta.( Bandung. Yayasan Kalam Hidup.) hlm.26
[5] Scott Kirby.2004. Berkencan dunia kawula muda(Bandung: Lembaga Literarut Babtis). Hlm.26.