Kamis, 23 Maret 2017

Pentingnya Kontekstual bagi Pertumbuhan Gereja Tuhan

Bab I
Pendahuluan
1.1    Latar Belakang
      Pada saat ini pertumbuhan suatu gereja adalah harapan semua hamba Tuhan, pertumbuhan gereja dalam bidang kuantitas, pertumbuhan gereja dalam kualitas dan pertumbuhan dalam organitas, tetapi kadang kala untuk mencapai sebuah pertumbuhan itu ada problematika yang terjadi sehingga pertumbuhan itu terjadi lambat. Padahal jika gereja Tuhan mau melakukan penginjilan dengan kontekstual akan membantu sekali pertumbuhan gereja tersebut. Karena kita dalam melakukan pelayanan kita berada di tengah masyarakat yang majemuk, dan banyak sekali perbedaan dengan kita, sehingga dalam melayani kita perlu malakukan penginjilan kontekstual untuk mencapai pertumbuhan gereja yang di inginkan. Dan di sini penulis akan memaparkan problematika gereja yang kurang sadar akan pentingnya untuk melakukan penginjilan kontekstual demi tercapainya kemajuan atau pertumbuhan sebuah gereja.
    
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1                  Seperti apa pandangan gereja yang salah karena menolak melakukan           penginjilan kontektual.
1.2.2                  Apa yang terjadi jika Latar belakang pendidikan pemimpin gereja kurang?
1.2.3                  Pandangan Alkitab akan kotekstual
1.2.4                  Bagaimana menyadarkan hamba Tuhan akan pentingya penginjilan kontekstual
1.2.5                  Seperti apa jemaat yang Missioner itu




1.3    Tujuan Penulisan
            Dengan ini penulis mempuyai tujuan dalam melakukan penulisan karya ilmiah ini adalah agar setiap gereja Tuhan sadar akan pentingnya pelayanan kontektual terhadap suatu kebudayaan bagi pertumbuhan gereja Tuhan dan semakin banyak jiwa – jiwa di bawa kepada melalui pelayanan kontekstual yang di lakukan oleh gereja Tuhan. Sehingga gereja mengalami pertumbuhan dalam kuantitas, kualitas dan oragnitas.




























Bab II
Pembahasan
2.1  Gereja menolak Penginjilan kontekstual.
            Dalam kita melayani pastilah kita tidak jauh dari kebudayaan masyarakat yang kita layani. Dan ada sebuah pertanyaan, Apa dan bagaimana sebenarnya hubungan antara antropologi kebudayaan dan pelayanan itu? sejauh mana hubungan ini memiliki keabsahan dalam aktualisasi pelayanan di lapangan? Pertanyaan ini memang sangat penting untuk digumuli, mengingat bahwa ada asumsi menolak keterkaitan antropologi dan pelayanan. Karena ada orang yang berpendapat bahwa pelayanan itu harus berdasarkan Alkitab saja. Karena itu, segala sesuatu yang yang berbau ilmu pengetahuan, termasuk antropologi kebudayaan tidak punya tempat dalam kamus pelayanan. Pendapat ini sepintas lalu kelihatanya benar, sehingga orang dengan begitu gampang  menerimanya, namun dalam kenyataan sebenarnya ialah bahwa setiap pelayanan itu berhubungan dengan manusia pasti akan menyentuh kebudayaan yang ada di dalam manusia itu sendiri. Dan pelayanan yang menyentuh manusia pastilah berurusan dengan antropologi kebudayaan. [1] tetapi pada kenyataanya banyak sekali gereja yang tidak menyadari tentang pentinya peran kontekstualisasi terhadap kebudayaan bagi pertumbuhan gereja Tuhan saat ini. Mereka beranggapan jika kita melakukan penginjilan kontekstual kita sedang melakukan sinkritisme, sehingga mereka menolak untuk melakukan penginjilan kontekstual.
Secara sekilas, memasukan masalah kebudayaan dalam sebuah buku tentang misi kristen dapat kelihatan aneh. Setiap pokok lainya dalam bagian ini adalah sesuai dengan deskrispsi tentang misi sebagai suatu tugas yang harus di jalankan. Injil dan kebudayaan adalah pokok yang kelihatan ganjil disini.walaupun begitu, masalah kebudayaan mempengaruhi setiap aspek dari misi kita. Ia merembes ke semua bidang. Dan jika kita mengabaikan pengaruh kebudayaan, kita menghadapi resiko keliru dalam membaca situasi – situasi.[2]




2.1.1        Latar belakang pendidikan pemimpin gereja
Dalam hal memimpin suatu lembaga Gereja, latar belakang pendidikan seorang gembala sidng sedikit banyaknya akan mempuyai pengaruh akan mengertinya pentingnya dari sebuah penginjilan kontekstual. Jika seorang yang mempuyai latar belankang pendidikan yang baik pastilah pemimpin tersebut akan mengerti pentingnya penginjilan kontekstual dilakukan. Jadi dai harapkan seorang pemimpin gereja adalah orang yang mempuyai latar belakang pendidikan yang mumpuni atau yang sesuai dengan bidangnya. Misalnya adalah aturang yang di berlakukan oleh beberapa sinode jika seorang hamba Tuhan wajib seorang sarjana Teologia, jadi jika seorang pemimpin gereja mempuyai latar belakang seorang sarjana teologia, karena seorang hamba Tuhan harus berkotbah dan mengajar. [3] jadi di sini di harapkan seorang gembala mempuyai pengetahuan yang lebih dan jika seorang gembala tersebut sudah dalam usia tua, di harapkan ia mengikuti banyak seminar, terutama seminar penginjilan zaman sekarang.
2.1.2        Latar belakang pendidikan pelayan Tuhan di gereja
Dalam sebuah gereja, yang melayani bukanlah seorang gembala saja, karena seorang gembala pastilah mempuyai beberapa staf. Dan kadang kala merekalah yang melakukan setiap tugas dari pemimpin atau gembala. Dan latar belakang pendidikan seorang pelayan Tuhan mempuyai pengaruh akan mengerti atau tidaknya jika pelayanan pnginjilan kotekstual itu mempuyai peranan penting bagi pertumbuhan sebuah gereja.
2.1.3        Doktrin Gereja yang menolak penginjilan kontekstual
Dalam sebuah lembaga gereja pastilah mempuyai doktrin – doktrin yang berbeda dengan gereja yang lain. Dalam doktrin – doktrin ini sebuah gereja pastilah akan mempuyai sebuah doktrin yang membedakan dengan gereja lain. sehingga doktrin ini yang akan menghambat sebuah penginjilan kontekstual, karena ada doktrin dari gereja yang menolak kebudayaan untuk masuk ke dalam gereja. Karena ada gereja yang beranggapan jika kebudayaan adalah hasil dari dunia, dan itu tidaklah boleh masuk ke dalam gereja, sehingga gereja menolak penginjilan kontekstual.

2.1.4        Kaum awam yang tak di gerakan
Fungsi dari sebuah geraja adalah meninggihkan Sang Juruselamat, memperlengkapi orang kudus, dan mengijili orang berdosa. Setiap anggota, individu demi individu, dipersatukan kedalam satu kesatuan tubuh.[4] Dalam setiap gereja pastilah ada jemaat yang tidak ikut dalam mengambil dalam pelayanan. Biasanya jemaat ini di sebut dengan kaum awam. Mereka kadang kala tidak mengerti akan tugas amanat agung yang di berikan oleh Tuhan. Karena kita semua membutuhkan pembimbing rohani.[5] Tetapi tidak sedikit dari pemimpin gereja Tuhan menggerakan atau memperlengkapi setiap jemaat untuk melakukan penginjilan.

2.2  Kontekstualisasi dalam Alkitab
            Dalam 2 raja-raja 18 dimuat laporang mengenai pengepungan Yerusalem oleh raja Asyur, Sanherib. Setelah Raja Sanherib menuntut upeti yang amat besar (Ay 14-16), ia makin menjadi berani, karena hizkia terlihat lemah, dan ia menuntut penyerahan total dari kota itu, suatu delegasi dari Asyur mendekati gerbang kota Yerusalem untuk merundingkan penyerahan. Karena mereka tidak mau para rakyat mendengar perkataan mereka, mereka meminta panglima Asyur untuk berbicara menggunakan bahasa Aram, panglimanya menolak dan berbicara menggunakan bahasa Ibrani kembali.[6] Di sini kita bisa melihat bagaimana kedua belah pihak yang melakukan kontekstualisasi demi tercapainya sesuatu kesepakatan yang saling menguntungkan.
2.2.1        Perjanjian Lama
Dalam perjajian lama sulit di temukan contoh komunikasi lintas budaya dalam hal suatu berita keagamaan yang khusus. Namun perjumpaan lintas budaya tidaklah sedikit. Tetapi bila Israel bertanggung jawab untuk berkomunikasi secara lintas budaya, dan bila kegiatan tersebut ternyata melibatkan mereka dalam semacam bentuk kontekstualisasi dalam perjanjian lama. Kalau pun ada? Ada beberapa alasan yang dapat diajukan. Yang pertama Allah melarang Israel mengadakan perjanjian politik dan keagamaan dengan bangsa – bangsa tertentu. Hal ini menolong Israel mempertahankan kesetiaannya kepada perjajian dengan Allah. yang kedua proses kontekstualisasi dihalangi oleh tidak adanya berita keagamaan yang jelas. Yang ketiga karena orientasinya yang etnosentris, sehingga mengabaikan tanggung jawab misioner apa pun.[7] Sudah barang tentu dalam Perjanjian Lama belum terdapat penugasan yang tegas untuk melakukan perkabaran keluar terhadap segala bangsa.[8]
2.2.2        Perjanjian Baru
Kita tahu bahwa keempat injil semuanya mengakhiri tulisanya dengan misi.[9] Dan di perjanjian baru, memperlihatkan serangkaian keadaan yang berbeda, sehinggga berguna untuk pembicaraan kita mengenai kontekstualisasi. Pertama, kedatangan Kristus dan penggenapan karya penyelamatanNya memberikan fokus bagi berita keagamaan. Kedua, dokumen-dokumen Perjanjian baru tidaklah pertama – tama bersifat deskriftif yang artinya dokumen itu tidak hanya melaporkan penyebaran misi jemaat, tetepi alat yang digunakan dalam penyebaran tersebut. Oleh karena inilah mereka lebih muda untuk mengenal contoh-contoh kontekstualisasi yang lebih erat terkait dengan  situasi-situasi yang di hadapi dalam dunia modern kita yang berbudaya majemuk dalam Perjanjian Baru. Kegiatan ini tidak hanya melibatkan usaha-usaha untuk mendapatkan keuntungan dengan menyesuaikan diri dengan menggunakan perbedaan-perbedaan kebudayaan. Melainkan juga penyampaian yang dilakukan secara sadar dan sengaja dari keagamaan yang jelas.[10]

2.3  Solusi agar Gereja sadar Pentingya Melakukan penginjilan Kontekstualisasi
            Solusi agar gareja mau melakukan penginjilan kontekstual, meskipun banyak sekali yang mengahalangi atau mencegah penginjilan kontekstual, sehingga gereja tidak melakukan penginjilan kontekstual dengan kita belajar dari Allah. karena Allah yang memperkenalkan diri dalam diri Yesus Kristus adalah Allah yang mencipta, memelihara, dan menebus umatNya. Inilah Allah dalam Kristus, Allah yang Misioner. Dalam kaitan ini, mengenal Allah dalam Kristus berarti turut serta dalam karyaNya. Tidak bisa seorang berkata,”aku mengenal Allah dalam Kristus!”; tetapi tidak mencerminkan karakter Allah yang misioner.
            Mengenal Allah dalam Kristus berarti terlibat dalam misi Allah. Misi menjadi identitas dan alasa keberadaan semua manusia yang mengenal Allah dalam Kristus. Jika misi di pahami sebagai keturutsertaan sebagai rekan sekerja Allah. maka keterlibatan manusia merupakan keniscayaan. Keterlibatan yang membawa manuisa kepada penyembahan dan kerendahan hati di hadiratNya. Dengan demikian misi di pahami secara luas tidak lagi secara sempit.[11] Pelayanan misi pada hakekatnya adalah sebuah penginjilan. Penginjilan adalah hasil alami dari “tubuh” yang di penuhi Kristus, yang hidup, dan yang berfungsi dalam sebuah komunitas. Penginjilan bukan suatu pristiwa, bukan suatu kebaktian, ataupun suatu kegiatan. Penginjilan dapat mencakup hal-hal itu, tetapi penginjilan lebih dari semuanya itu. penginjilan adalah hasil dari kehidupan Kristus yang mengalir ke dalam gereja.[12]
2.4  Menyadarkan Para Hamba Tuhan Akan Pentingnya Penginjilan
            Dalam gereja pastilah ada hamba-hamba Tuhan yang melayani, melayani dalam jalananya ibadah ataupun dalam pemberitaan Firman. Dan Setiap Hamba Tuhan yang memberitakan injil Kristen selalu berupaya menyajikan berita injil dalam istilah – istilah yang dapat di pahami oleh pendengarnya. Dengan demikian, para pemberita injil dari segala masa mengahadpi inkulturasi meraka sendiri, dan juga masalah adat istiadat, bahasa dan sistem kepercayaan dari bangsa – bangsa lain.
            kadang- kadang pemberita injil segaja menyesuaikan pemberitaanya dengan unsur-unsur budaya pendengar. Dalam hal ini terjadi sejenis perjumpaan kebenaran.     Dimana pemberita berusaha mempermuda pemahaman injil dengan mengacu kepada persamaan-persamaan antara pemahaman mereka dan pendengar. Ada kalanya para pemberita kristen mengahadapi suatu konflik, karena mereka perlu menghindari atau bahkan mengatasi halangan-halangan yang terkandung dalam budaya pendengarnya. Semuanya ini dilakukan guna menyampaikan berita injil dalam bentuk yang lebih muda dipahami, yang relevan dengan budaya, dengan kata lain mengkontekstualisasikanya.[13] Prinsip kerja konsep kontekstualisasi berhubungan erat dengan sifat teologis situasional. Maksudnya ialah bahwa kontekstualisasi berhubungan erat dengan refleksi teologi yang mengaitkan teks (Alkitab) dengan konteks (situasi kehidupan). Hubungan ini adalah suatu interaksi dinamis yang dari padanya munculah “suatu teologi kontekstualisasi”. Disini kebenaran Firman Allah harus dijelmakan dalam situasi budaya secara keseluruhan, sehingga Firman itu dapat diterima dan dipastikan milik budaya tersebut. Refleksi teologi kontekstual menuntut pelibatan diri melalui tindak dan refleksi dalam berteologis. Ajaran Alkitab harus di terapkan dalam struktur pikir dan kehidupan budaya, sehingga Kristus menjadi Tuhan atas dan dalam kebudayaan tersebut.[14]

2.5  jemaat yang Missioner
      Beberapa penerapan kontektual yang dapat di pakai oleh gereja Tuhan. Dan gereja pun dapat menggerakan jemaat untuk melakukan penginjilan. Karena jemaat seluruhnya adalah missioner., oleh karena ia di utus ke dalam dunia. Jika ia tidak, ia menyangkal inti injil Yesus Kristus yang tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan hidupnya sebagai tebusan untuk orang banyak. Dan bilamana persekutuan cintakasih di dalam jemaat sungguh-sungguh tampak, maka itu merupakan kesaksian yang terbaik. Bilamana damai dan sejahtera sama sendiri dihayati betul-betul, maka perhatian orang-orang lain akan tertarik ke sit. Dan timbulah untuk mengabarkan Injil Yesus Kristus.[15] Ketika melakukan penginjilan ada empat pokok pemberitan injil, pertama, Kristus telah di serahkan oleh Allah Bapa untuk menerima hukuman mati atas dosa-dosa yang telah kita lakukan, kedua, Kristus telah dikuburkan, ketiga, Allah membangkitkan Dia dari antara orang-orang mati pada hari yang ketiga, dan keempat adalah kita akan menerima kebenaran dari (di benarkan oleh) Allah apabila kitya percaya akan semua fakta ini.[16] Dan gereja juga dapat menggunakan beberapa model kontekstualisasi untuk melakukan penginjilan. Antara lain:
2.5.1        model kontekstualisasi Akomondasi
            akomondasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan yang asli yang di lakukan dalam sikap, kelakuan dan pendekatan praktis dalam tugas misionari baik secara teologis maupun secara ilmiah. Obyek akomondasi adalah kehidupan kebudayaan yang menyeluruh dari suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial maupun ideal.
            Disini, dalam komunikasi injil, terjadi proses penetrasi dan dalam penerapanya terdapat pengambilalihan unsur budaya setempat untuk mengekspresikan dan peningkatan sambutan atas injil. Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani dimana kristus menjadi penyempurna dan perlengkap aspirasi budaya. Dengaan demikian akan terdapat sikap positif terhadap injil yang di dasarkan atas pandangan bahwa anugrah Allah (injil) tidak mengahancurkan budaya manusia, tetapi justru memperlengkapi dan menyempurnakanya

2.5.2        Model kontekstualisasi Adaptasi
Perbedaan adaptasi dan akomondasi terletak pada cara pendekatanya. Model adaptasi tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam mengekspresikan injil, tetapi menggunakan bentuk dan ide budaya yang dikenal. Tujuan adaptasi ialah mengekspreiskan dan menterjemahkan injil dalam istilah setempat (indigeneousterms), sehingga menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut.

2.5.3        Model kontekstualisasi Prossesio
Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negatif, Proses Prossesio terjadi melaui seleksi, penolakan, reinterprestasi, dan rededikasi. Kelompok prossesio melihat kebudayaan sebagai suatu yang rusak oleh dosa, dan tidak ada kebaikan yang muncul dari dalamnya.
2.5.4        Pola kontekstualisasi Transformasi
Dalam pemahaman pola Transformasi, Allah di atas budaya, dan melalui budaya itu pula, Allah menggunakan kebudayaan berinterasi dengan manusia. Bila seorang dibaharui Allah, maka inti kebudayaan juga dibaharui (2 kor 5:17).
2.5.5        Model kontekstualisasi Dialek
Ini adalah interaksi dinamis antara teks dengan konteks. Konsep ini di dukung oleh perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada di dalam setiap kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu, perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian gereja harus mengunakan peran kenabianya untuk menganalisa, menginterpretasi dan menilai setiap keadaan.[17]
Bab III
Kesimpulan
            Saat ini kita melayani di dunia yang penuh dengan kebudayaan, dan sangatlah mustahil jika kita tidak tersentuh dengan kebudayaan yang ada. Dan jika kita ingin memenangkan banyak jiwa itu dapat kita lakukan dengan cara mendekati masyarakatnya dengan kebudayaan yang ada. Oleh karena itu gereja saat ini sangatlah perlu untuk melakukan penginjilan kontekstual dengan kebudayaan masyarakat yang akan dituju, karena dengan pendekatan kepada kebudayaan kita akan dengan muda melakukan penginjilan kepada masyarakat tersebut. Tetapi perlu di ingat selama kebudayaan tersebut tidak dalam dosa kita boleh menerima kebudayaan tersebut, tetapi jika kebudayaan itu termasuk dosa kita harus meminta hikmat dari Roh kudus untuk melakukan apa.  



                  [1] DR.Yakob Tomatala. Antropologi dasar pendekatan pelayanan lintas budaya. Media penerbit                 Kristen. Jakarta.  2007 Hlm.3
                  [2] J. Andrew Kirk. Apa misi itu? BPK gunung Mulia. Jakarta. 2012. Hlm. 101
                [3] Seth Msweli. Gembala sidang dan pelayananya. Yayasan kalam hidup. Bandung. 2002.hlm. 203
[4] Billy Graham. Total church life. Lembaga literatur Baptis. Bandung. 2004.hlm.141
[5] Howard rice. Manajeman umat. Yayasan kalam hidup. Bandung.2006.hlm55
                [6] David J. Hesselgrave. Edward Rommen. Kontekstualisasi. BPK Gunung Mulia. Jakarta. 2012. Hlm 20
                [7] Ibid. Hlm. 23
                [8]Dr. Arie de kuiper. MISSIOLOGIA. BPK Gunung Mulia. Jakarta. 2000. Hlm18
                [9] Dr. David iman Santoso. Theologi Matius. Literatur SAAT. Malang.2009. hlm. 259
                [10] Ibid.hlm. 25
                [11] John ru ck dkk. Jemaar yang Misioner. Yayasan komunikasi bina kasih. Jakarta. 2011. Hlm 10
                [12] Billy Graham. Total Church Life. Lembaga literatur Baptis. Bandung. 2004. Hlm255
                [13] John ruck dkk. Jemaar yang Misioner. Yayasan komunikasi bina kasih. Jakarta. 2011. Hlm. 19
                [14] DR. Y.Y. tomatala. Penginjilan Masa Kini. Gandum Mas. Malang. 2004. Hlm.67
                [15] Dr. Arie de kuiper. MISSIOLOGIA. BPK Gunung Mulia. Jakarta. 2000. Hlm.102
                [16] Derek Prince. Foundations For Righteous Living. Derek Prince Ministries Indonesia.                                        Jakarta.2005.hlm177
                [17] DR. Y.Y. tomatala. Penginjilan Masa Kini. Gandum Mas. Malang. 2004. Hlm.66-68

2 komentar: