Bab
I
Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang
Pada
saat ini pertumbuhan suatu gereja adalah harapan semua hamba Tuhan, pertumbuhan
gereja dalam bidang kuantitas, pertumbuhan gereja dalam kualitas dan
pertumbuhan dalam organitas, tetapi kadang kala untuk mencapai sebuah
pertumbuhan itu ada problematika yang terjadi sehingga pertumbuhan itu terjadi
lambat. Padahal jika gereja Tuhan mau melakukan penginjilan dengan kontekstual
akan membantu sekali pertumbuhan gereja tersebut. Karena kita dalam melakukan
pelayanan kita berada di tengah masyarakat yang majemuk, dan banyak sekali
perbedaan dengan kita, sehingga dalam melayani kita perlu malakukan penginjilan
kontekstual untuk mencapai pertumbuhan gereja yang di inginkan. Dan di sini
penulis akan memaparkan problematika gereja yang kurang sadar akan pentingnya
untuk melakukan penginjilan kontekstual demi tercapainya kemajuan atau
pertumbuhan sebuah gereja.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Seperti apa pandangan
gereja yang salah karena menolak melakukan penginjilan
kontektual.
1.2.2
Apa yang terjadi jika Latar
belakang pendidikan pemimpin gereja kurang?
1.2.3
Pandangan Alkitab akan
kotekstual
1.2.4
Bagaimana menyadarkan
hamba Tuhan akan pentingya penginjilan kontekstual
1.2.5
Seperti apa jemaat yang
Missioner itu
1.3
Tujuan
Penulisan
Dengan
ini penulis mempuyai tujuan dalam melakukan penulisan karya ilmiah ini adalah
agar setiap gereja Tuhan sadar akan pentingnya pelayanan kontektual terhadap
suatu kebudayaan bagi pertumbuhan gereja Tuhan dan semakin banyak jiwa – jiwa
di bawa kepada melalui pelayanan kontekstual yang di lakukan oleh gereja Tuhan.
Sehingga gereja mengalami pertumbuhan dalam kuantitas, kualitas dan oragnitas.
Bab
II
Pembahasan
2.1
Gereja
menolak Penginjilan kontekstual.
Dalam kita melayani pastilah kita
tidak jauh dari kebudayaan masyarakat yang kita layani. Dan ada sebuah
pertanyaan,
Apa dan bagaimana sebenarnya hubungan antara antropologi kebudayaan dan
pelayanan itu? sejauh mana hubungan ini memiliki keabsahan dalam aktualisasi
pelayanan di lapangan? Pertanyaan ini memang sangat penting untuk digumuli,
mengingat bahwa ada asumsi menolak keterkaitan antropologi dan pelayanan.
Karena ada orang yang berpendapat bahwa pelayanan itu harus berdasarkan Alkitab
saja. Karena itu, segala sesuatu yang yang berbau ilmu pengetahuan, termasuk
antropologi kebudayaan tidak punya tempat dalam kamus pelayanan. Pendapat ini
sepintas lalu kelihatanya benar, sehingga orang dengan begitu gampang menerimanya, namun dalam kenyataan sebenarnya
ialah bahwa setiap pelayanan itu berhubungan dengan manusia pasti akan
menyentuh kebudayaan yang ada di dalam manusia itu sendiri. Dan pelayanan yang
menyentuh manusia pastilah berurusan dengan antropologi kebudayaan. [1]
tetapi pada kenyataanya banyak sekali gereja yang tidak menyadari tentang
pentinya peran kontekstualisasi terhadap kebudayaan bagi pertumbuhan gereja
Tuhan saat ini. Mereka beranggapan jika kita melakukan penginjilan kontekstual
kita sedang melakukan sinkritisme, sehingga mereka menolak untuk melakukan
penginjilan kontekstual.
Secara sekilas, memasukan masalah
kebudayaan dalam sebuah buku tentang misi kristen dapat kelihatan aneh. Setiap
pokok lainya dalam bagian ini adalah sesuai dengan deskrispsi tentang misi
sebagai suatu tugas yang harus di jalankan. Injil dan kebudayaan adalah pokok
yang kelihatan ganjil disini.walaupun begitu, masalah kebudayaan mempengaruhi
setiap aspek dari misi kita. Ia merembes ke semua bidang. Dan jika kita
mengabaikan pengaruh kebudayaan, kita menghadapi resiko keliru dalam membaca situasi
– situasi.[2]
2.1.1
Latar
belakang pendidikan pemimpin gereja
Dalam hal memimpin suatu lembaga Gereja,
latar belakang pendidikan seorang gembala sidng sedikit banyaknya akan mempuyai
pengaruh akan mengertinya pentingnya dari sebuah penginjilan kontekstual. Jika
seorang yang mempuyai latar belankang pendidikan yang baik pastilah pemimpin
tersebut akan mengerti pentingnya penginjilan kontekstual dilakukan. Jadi dai
harapkan seorang pemimpin gereja adalah orang yang mempuyai latar belakang
pendidikan yang mumpuni atau yang sesuai dengan bidangnya. Misalnya adalah
aturang yang di berlakukan oleh beberapa sinode jika seorang hamba Tuhan wajib
seorang sarjana Teologia, jadi jika seorang pemimpin gereja mempuyai latar
belakang seorang sarjana teologia, karena seorang hamba Tuhan harus berkotbah
dan mengajar. [3] jadi di
sini di harapkan seorang gembala mempuyai pengetahuan yang lebih dan jika
seorang gembala tersebut sudah dalam usia tua, di harapkan ia mengikuti banyak
seminar, terutama seminar penginjilan zaman sekarang.
2.1.2
Latar
belakang pendidikan pelayan Tuhan di gereja
Dalam
sebuah gereja, yang melayani bukanlah seorang gembala saja, karena seorang
gembala pastilah mempuyai beberapa staf. Dan kadang kala merekalah yang
melakukan setiap tugas dari pemimpin atau gembala. Dan latar belakang
pendidikan seorang pelayan Tuhan mempuyai pengaruh akan mengerti atau tidaknya
jika pelayanan pnginjilan kotekstual itu mempuyai peranan penting bagi
pertumbuhan sebuah gereja.
2.1.3
Doktrin
Gereja yang menolak penginjilan kontekstual
Dalam sebuah lembaga gereja pastilah
mempuyai doktrin – doktrin yang berbeda dengan gereja yang lain. Dalam doktrin
– doktrin ini sebuah gereja pastilah akan mempuyai sebuah doktrin yang
membedakan dengan gereja lain. sehingga doktrin ini yang akan menghambat sebuah
penginjilan kontekstual, karena ada doktrin dari gereja yang menolak kebudayaan
untuk masuk ke dalam gereja. Karena ada gereja yang beranggapan jika kebudayaan
adalah hasil dari dunia, dan itu tidaklah boleh masuk ke dalam gereja, sehingga
gereja menolak penginjilan kontekstual.
2.1.4
Kaum
awam yang tak di gerakan
Fungsi
dari sebuah geraja adalah meninggihkan Sang Juruselamat, memperlengkapi orang
kudus, dan mengijili orang berdosa. Setiap anggota, individu demi individu,
dipersatukan kedalam satu kesatuan tubuh.[4]
Dalam setiap gereja pastilah ada jemaat yang tidak ikut dalam mengambil dalam
pelayanan. Biasanya jemaat ini di sebut dengan kaum awam. Mereka kadang kala
tidak mengerti akan tugas amanat agung yang di berikan oleh Tuhan. Karena kita
semua membutuhkan pembimbing rohani.[5]
Tetapi tidak sedikit dari pemimpin gereja Tuhan menggerakan atau memperlengkapi
setiap jemaat untuk melakukan penginjilan.
2.2
Kontekstualisasi
dalam Alkitab
Dalam 2 raja-raja 18 dimuat laporang
mengenai pengepungan Yerusalem oleh raja Asyur, Sanherib. Setelah Raja Sanherib
menuntut upeti yang amat besar (Ay 14-16), ia makin menjadi berani, karena
hizkia terlihat lemah, dan ia menuntut penyerahan total dari kota itu, suatu
delegasi dari Asyur mendekati gerbang kota Yerusalem untuk merundingkan
penyerahan. Karena mereka tidak mau para rakyat mendengar perkataan mereka,
mereka meminta panglima Asyur untuk berbicara menggunakan bahasa Aram,
panglimanya menolak dan berbicara menggunakan bahasa Ibrani kembali.[6]
Di sini kita bisa melihat bagaimana kedua belah pihak yang melakukan
kontekstualisasi demi tercapainya sesuatu kesepakatan yang saling
menguntungkan.
2.2.1
Perjanjian
Lama
Dalam
perjajian lama sulit di temukan contoh komunikasi lintas budaya dalam hal suatu
berita keagamaan yang khusus. Namun perjumpaan lintas budaya tidaklah sedikit.
Tetapi bila Israel bertanggung jawab untuk berkomunikasi secara lintas budaya,
dan bila kegiatan tersebut ternyata melibatkan mereka dalam semacam bentuk
kontekstualisasi dalam perjanjian lama. Kalau pun ada? Ada beberapa alasan yang
dapat diajukan. Yang pertama Allah melarang Israel mengadakan perjanjian
politik dan keagamaan dengan bangsa – bangsa tertentu. Hal ini menolong Israel
mempertahankan kesetiaannya kepada perjajian dengan Allah. yang kedua proses
kontekstualisasi dihalangi oleh tidak adanya berita keagamaan yang jelas. Yang
ketiga karena orientasinya yang etnosentris, sehingga mengabaikan tanggung
jawab misioner apa pun.[7]
Sudah barang tentu dalam Perjanjian Lama belum terdapat penugasan yang tegas
untuk melakukan perkabaran keluar terhadap segala bangsa.[8]
2.2.2
Perjanjian
Baru
Kita
tahu bahwa keempat injil semuanya mengakhiri tulisanya dengan misi.[9]
Dan di perjanjian baru, memperlihatkan serangkaian keadaan yang berbeda,
sehinggga berguna untuk pembicaraan kita mengenai kontekstualisasi. Pertama,
kedatangan Kristus dan penggenapan karya penyelamatanNya memberikan fokus bagi
berita keagamaan. Kedua, dokumen-dokumen Perjanjian baru tidaklah pertama –
tama bersifat deskriftif yang artinya dokumen itu tidak hanya melaporkan
penyebaran misi jemaat, tetepi alat yang digunakan dalam penyebaran tersebut.
Oleh karena inilah mereka lebih muda untuk mengenal contoh-contoh
kontekstualisasi yang lebih erat terkait dengan
situasi-situasi yang di hadapi dalam dunia modern kita yang berbudaya
majemuk dalam Perjanjian Baru. Kegiatan ini tidak hanya melibatkan usaha-usaha
untuk mendapatkan keuntungan dengan menyesuaikan diri dengan menggunakan
perbedaan-perbedaan kebudayaan. Melainkan juga penyampaian yang dilakukan secara
sadar dan sengaja dari keagamaan yang jelas.[10]
2.3
Solusi
agar Gereja sadar Pentingya Melakukan penginjilan Kontekstualisasi
Solusi agar gareja mau melakukan
penginjilan kontekstual, meskipun banyak sekali yang mengahalangi atau mencegah
penginjilan kontekstual, sehingga gereja tidak melakukan penginjilan
kontekstual dengan kita belajar dari Allah. karena Allah yang memperkenalkan
diri dalam diri Yesus Kristus adalah Allah yang mencipta, memelihara, dan
menebus umatNya. Inilah Allah dalam Kristus, Allah yang Misioner. Dalam kaitan
ini, mengenal Allah dalam Kristus berarti turut serta dalam karyaNya. Tidak
bisa seorang berkata,”aku mengenal Allah dalam Kristus!”; tetapi tidak
mencerminkan karakter Allah yang misioner.
Mengenal Allah dalam Kristus berarti
terlibat dalam misi Allah. Misi menjadi identitas dan alasa keberadaan semua
manusia yang mengenal Allah dalam Kristus. Jika misi di pahami sebagai
keturutsertaan sebagai rekan sekerja Allah. maka keterlibatan manusia merupakan
keniscayaan. Keterlibatan yang membawa manuisa kepada penyembahan dan
kerendahan hati di hadiratNya. Dengan demikian misi di pahami secara luas tidak
lagi secara sempit.[11]
Pelayanan misi pada hakekatnya adalah sebuah penginjilan. Penginjilan adalah
hasil alami dari “tubuh” yang di penuhi Kristus, yang hidup, dan yang berfungsi
dalam sebuah komunitas. Penginjilan bukan suatu pristiwa, bukan suatu
kebaktian, ataupun suatu kegiatan. Penginjilan dapat mencakup hal-hal itu,
tetapi penginjilan lebih dari semuanya itu. penginjilan adalah hasil dari
kehidupan Kristus yang mengalir ke dalam gereja.[12]
2.4
Menyadarkan
Para Hamba Tuhan Akan Pentingnya Penginjilan
Dalam gereja pastilah
ada hamba-hamba Tuhan yang melayani, melayani dalam jalananya ibadah ataupun
dalam pemberitaan Firman. Dan Setiap Hamba Tuhan yang memberitakan injil
Kristen selalu berupaya menyajikan berita injil dalam istilah – istilah yang
dapat di pahami oleh pendengarnya. Dengan demikian, para pemberita injil dari
segala masa mengahadpi inkulturasi meraka sendiri, dan juga masalah adat istiadat,
bahasa dan sistem kepercayaan dari bangsa – bangsa lain.
kadang- kadang pemberita injil
segaja menyesuaikan pemberitaanya dengan unsur-unsur budaya pendengar. Dalam
hal ini terjadi sejenis perjumpaan kebenaran. Dimana
pemberita berusaha mempermuda pemahaman injil dengan mengacu kepada
persamaan-persamaan antara pemahaman mereka dan pendengar. Ada kalanya para
pemberita kristen mengahadapi suatu konflik, karena mereka perlu menghindari
atau bahkan mengatasi halangan-halangan yang terkandung dalam budaya
pendengarnya. Semuanya ini dilakukan guna menyampaikan berita injil dalam
bentuk yang lebih muda dipahami, yang relevan dengan budaya, dengan kata lain
mengkontekstualisasikanya.[13]
Prinsip kerja konsep kontekstualisasi berhubungan erat dengan sifat teologis
situasional. Maksudnya ialah bahwa kontekstualisasi berhubungan erat dengan
refleksi teologi yang mengaitkan teks (Alkitab) dengan konteks (situasi
kehidupan). Hubungan ini adalah suatu interaksi dinamis yang dari padanya
munculah “suatu teologi kontekstualisasi”. Disini kebenaran Firman Allah harus
dijelmakan dalam situasi budaya secara keseluruhan, sehingga Firman itu dapat
diterima dan dipastikan milik budaya tersebut. Refleksi teologi kontekstual
menuntut pelibatan diri melalui tindak dan refleksi dalam berteologis. Ajaran
Alkitab harus di terapkan dalam struktur pikir dan kehidupan budaya, sehingga
Kristus menjadi Tuhan atas dan dalam kebudayaan tersebut.[14]
2.5
jemaat
yang Missioner
Beberapa penerapan kontektual yang dapat
di pakai oleh gereja Tuhan. Dan gereja pun dapat menggerakan jemaat untuk melakukan
penginjilan. Karena jemaat seluruhnya adalah missioner., oleh karena ia di utus
ke dalam dunia. Jika ia tidak, ia menyangkal inti injil Yesus Kristus yang
tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan hidupnya
sebagai tebusan untuk orang banyak. Dan bilamana persekutuan cintakasih di
dalam jemaat sungguh-sungguh tampak, maka itu merupakan kesaksian yang terbaik.
Bilamana damai dan sejahtera sama sendiri dihayati betul-betul, maka perhatian
orang-orang lain akan tertarik ke sit. Dan timbulah untuk mengabarkan Injil
Yesus Kristus.[15] Ketika
melakukan penginjilan ada empat pokok pemberitan injil, pertama, Kristus telah
di serahkan oleh Allah Bapa untuk menerima hukuman mati atas dosa-dosa yang
telah kita lakukan, kedua, Kristus telah dikuburkan, ketiga, Allah
membangkitkan Dia dari antara orang-orang mati pada hari yang ketiga, dan
keempat adalah kita akan menerima kebenaran dari (di benarkan oleh) Allah
apabila kitya percaya akan semua fakta ini.[16]
Dan gereja juga dapat menggunakan beberapa model kontekstualisasi untuk
melakukan penginjilan. Antara lain:
2.5.1
model
kontekstualisasi Akomondasi
akomondasi adalah sikap menghargai
dan terbuka terhadap kebudayaan yang asli yang di lakukan dalam sikap, kelakuan
dan pendekatan praktis dalam tugas misionari baik secara teologis maupun secara
ilmiah. Obyek akomondasi adalah kehidupan kebudayaan yang menyeluruh dari suatu
bangsa, baik dari segi fisik, sosial maupun ideal.
Disini, dalam komunikasi injil,
terjadi proses penetrasi dan dalam penerapanya terdapat pengambilalihan unsur
budaya setempat untuk mengekspresikan dan peningkatan sambutan atas injil.
Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani dimana kristus menjadi
penyempurna dan perlengkap aspirasi budaya. Dengaan demikian akan terdapat
sikap positif terhadap injil yang di dasarkan atas pandangan bahwa anugrah
Allah (injil) tidak mengahancurkan budaya manusia, tetapi justru memperlengkapi
dan menyempurnakanya
2.5.2
Model
kontekstualisasi Adaptasi
Perbedaan
adaptasi dan akomondasi terletak pada cara pendekatanya. Model adaptasi tidak
mengasimilasikan unsur budaya dalam mengekspresikan injil, tetapi menggunakan
bentuk dan ide budaya yang dikenal. Tujuan adaptasi ialah mengekspreiskan dan
menterjemahkan injil dalam istilah setempat (indigeneousterms), sehingga
menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut.
2.5.3
Model
kontekstualisasi Prossesio
Prossesio
adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negatif, Proses Prossesio
terjadi melaui seleksi, penolakan, reinterprestasi, dan rededikasi. Kelompok
prossesio melihat kebudayaan sebagai suatu yang rusak oleh dosa, dan tidak ada
kebaikan yang muncul dari dalamnya.
2.5.4
Pola
kontekstualisasi Transformasi
Dalam
pemahaman pola Transformasi, Allah di atas budaya, dan melalui budaya itu pula,
Allah menggunakan kebudayaan berinterasi dengan manusia. Bila seorang dibaharui
Allah, maka inti kebudayaan juga dibaharui (2 kor 5:17).
2.5.5
Model
kontekstualisasi Dialek
Ini
adalah interaksi dinamis antara teks dengan konteks. Konsep ini di dukung oleh
perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada di dalam setiap kebudayaan. Untuk
setiap kurun waktu, perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian
gereja harus mengunakan peran kenabianya untuk menganalisa, menginterpretasi
dan menilai setiap keadaan.[17]
Bab
III
Kesimpulan
Saat
ini kita melayani di dunia yang penuh dengan kebudayaan, dan sangatlah mustahil
jika kita tidak tersentuh dengan kebudayaan yang ada. Dan jika kita ingin
memenangkan banyak jiwa itu dapat kita lakukan dengan cara mendekati
masyarakatnya dengan kebudayaan yang ada. Oleh karena itu gereja saat ini
sangatlah perlu untuk melakukan penginjilan kontekstual dengan kebudayaan
masyarakat yang akan dituju, karena dengan pendekatan kepada kebudayaan kita
akan dengan muda melakukan penginjilan kepada masyarakat tersebut. Tetapi perlu
di ingat selama kebudayaan tersebut tidak dalam dosa kita boleh menerima
kebudayaan tersebut, tetapi jika kebudayaan itu termasuk dosa kita harus
meminta hikmat dari Roh kudus untuk melakukan apa.
Materinya bagus Pak. Ijin mengutip ya. Thanks JBU
BalasHapusshalom... silakan. Tuhan Yesus memberkati...
Hapus