Kamis, 23 Maret 2017

liturgi dalam Bait Allah dan Aplikasinya

Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Salomo dipercayakan untuk meneruskan proyek pembangunan Bait Allah yang belum terlaksana itu. Tetapi mengenai pola dan bentuknya, Allah terlebih dahulu memberitahukanya kepada Daud. Allah tidak mengijinkan Daud membangunanya karena pada saat itu waktu dan tenaga Daud banyak tersita untuk menghadapi peperangan dan mengokohkan kerajaan Israel. Salomo yang dipercayakan untuk melaksanakan tugas yang mulia ini. Pada waktu itu semua bahan bangunan sudah tersedia. Kemanan negeri cukup stabil dan terjamin sehingga memudahkan pembangunan. Persembahan auat upeti negeri – negeri lain terus mengalir. Sumber daya manusia tersedia. Bagi Salomo inilah kesempatan emas  untuk mewujudkan impian ayahnya, yaitu membangun sebuah proyek monummental dalam sejarah Israel sebagai lambang kehadiran Alah.[1] 
Pembangunan bait suci itu berlangsung 7 tahun, sesudah itu perabotnya di selesaikan oleh hiram, Batu yang di perlukan untuk bait suci itu telah selesai ditara sebelum di bawa ke tempat mendirikan bait suci itu, sehingga tidak ribut di waktu Bait suci itu didirikan. Barulah setelah itu berdiri, segala perhiasan dan perabotnya dipasang. Setelah bait suci dan segala perkakasnya selesai salomo mengadakan peralatan besar untuk menahbiskan bait suci tersebut.[2]


1.2              Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana  Bait Allah itu ?
1.2.2        Bagaimana imam dalam Bait Allah dan perananya dalam beribadah
1.2.3        Korban apa saja yang di lakukan di dalam Bait Allah dan bagaimana tata caranya
1.2.4        Tahun ritual atau saat kapan harus beribadah di dalam Bait Allah
1.2.5        Apa aplikasi yang dapat di ambil bagi jemaat masa kini

1.3              Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan dari penulisan ini adalah mengetahui liturgika yang ada dalam Bait Allah dan mampu mengambil sebuah aplikasi bagi orang percaya saat ini













Bab II
Pembahasan

2.1 Bait Allah
Bait Allah ada Pada tahun ke-480 sesudah orang Israel keluar dari tanah Mesir, pada tahun ke 4 sesudah Salomo menjadi Raja atas Israel, dalam bulan ziw, yakni bulan kedua, maka salomo mulai mendirikan rumah bagi TUHAN.[3] Gedung Bait Allah yang sebenarnya enam puluh hasta panjangnya dan dua puluh hasta lebarnya (1 Raj 6 : 2), tepat 2 kali ukuran kemah suci (Kel 26:16). Temap ini di bagi menjadi 2 dua ruang, Ruang dalam Tempat Maha Kudus atau tempat kehadiran Allah berbentuk kubus dan ruang luar tempat kudus. [4]
Bait Allah mempuyai bentuk persegi panjang dengan dua bagian, bagian terdalam menyimpan tabut tembaga (2 taw 4:1). Ada kolam besar, untuk tempat pembahsuan ritual, dan ada dua pilar terpisah yang di sebut Yakhim dan Boas, terletak di depan gerbang bangunananya. Bagian paling dalamdari bangunan itu adalah ruang maha kudus, [5] Ruang maka kudus diberi bertingkat, serta di sekeliling seluruh gedung itu di buat kamar – kamar dalam tingkat tingga semuanya 14 hasta tingginya. Kamar – kamar itu di gunakan untuk menyimpan barang – barang keperluan bait suci. Bait itu mempuyai dua pelataran di depan, pelataran dalam atau pelataran imam dan pelataran luar yang lebih rendah letaknya untuk rakyat. Di pelataran untuk iman – iman itu berdiri mezbah korban bakaran, yang panjangnya 20 hasta, lebarnya 20 hasta dan tinggihnya 10 hasta, laut tuangan yang termasyur, yang di buat dari tembaga, adalah semacam bejana pembasuhan yang didukung oleh 12 lembu  jantan tembaga, dan 10 bejana kecil yang di pakai roda.[6] Tabut perjanjian degan hormat di letakan di dalam ruang maha suci di bait Salomo, di bawah sayap kerubim. Kemudian menarik keluar kayu pengusung yang di pakai untuk menggotong tabut itu. Sebelum ini, kayu – kayu pengusung itu masih menempel pada tabut itu, sehingga tabut itu dapat di bawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun kayu – kayui itu dapat di lihat di Ruang suci. [7]

2.2 Imam di dalam Bait Allah
            Pada saat ini dalam sejarah Israel, suatu keimaman yang sah dibentuk. Sesuai dengan perintah Allah (Kel. 28:1), Musa menabiskan abangnya Harun dan anak – anak lelaki Harun sebagai imam. Orang – orang ini berasal dari suku Lewi. Musa mengadakan perbedaan antara Harun dan anak – anaknya, karena ia mengurapi Harun “Imam yang terbesar di antara saudara - saudaranya” (Im 21:10). Ia membedakan jabatan Harun dengan memberikan jubah yang khusus kepadanya(Kel. 28:4, 6-39, Im 8:7-9). Ketika harun meninggal dunia, jubah dan jabatan itu di serahkan kepada Eleazar, anak laki – laki tertuanya (Bil. 20:25-28).
            Fungsi terpenting imam besar ialah memimpin semua upacara pada hari raya Pendamaian setiap tahun. Pada hari itu, imam besar dapat memasuki ruang maha kudus.[8] Dalam PL para imam adalah perantara antara umat dan Allahnya yang berkuasa. Fungsi utamanya adalah membawakan korban – korban dengan tugas tambahan mengajarkan hukum taurat. Demikian sampai pada masa pembuangan. Mereka juga mempuyai tugas mengurusi Urim dan Tumim, yaitu batu undi kudus, yang di bawa para imam dalam kantung depan pakaian mereka (Kel. 28:30). Selama para hakim, imam imam dari suku Lewi sangat di hormati (Hak 17:10).  Dalam tulisan – tulisan sesudah pembuangan, para imam dan orang Lewi sama – sama di anggap keturunan Lewi dan orang Orang Lewi ini di bedakan dari para Imam. Imam-imam kepala bersama tua – tua bangsa dan para ahli taurat, merupakan sanhedrin di yerusalem, kemana yesus di hadapkan sebelum di serahkan untuk di jatuhi hukuman oleh pilatus.[9]




2.3  Korban apa saja yang di lakukan di dalam Bait Allah dan bagaimana tata caranya
Alkitab memuat banyak peraturan Musa untuk korban persembahan, tetapi Imamat 1-7 seluruhnya di sediakan  untuk membicarakan upacara agama. Banyak ahli menganggap bagian ini  sebagai semacam “pedoman untuk kurban persembahan” pasal – pasal ini memaparkan lima jenis persembahan : kurban bakaran, kurban sajian, kurban keselamatan, kurban penghapus dosa, dan kurban penebus salah.

2.3.1        Kurban Bakaran
Jenis persembahan ini di bakar keseluruhanya. Tidak ada bagian yang di makan oleh siapapun. Api membakar habis semuanya. Sebenarnya, api itu tidak pernah di padamkan, “harus dijaga supaya api tetap di atas mezbah, janganlah biarkan padam”(IM 6:13)
Orang yang hendak beribadah itu membawa seekor binatang jantan – lembu jantan, anak domba jantan, kambing jantan, burung merpati, anak burung terkukur, (sebagian tergantung kepada kekayanaan masing – masing orang yang beribadah itu)- ke pintu perkemahan atau ke bait suci. Binatang kurban tidak boleh bercela. Lalu orang tersebut meletakan tanganya ke atas kepala binatang itu dan binatang persembahan itu “di perkenanan untuk mengadakan perdamaian baginya” (Im 1:4). Peletakan tangan adalah suatu perbuatan yang menyangkut upacara. Dengan upacara tersebut orang yang beribadah itu memberkati atau menyiapkan binatang kurban. Lalu binatang itu di sembelih di pintu  kemah. Dengan segera, imam mengambil darah binatang itu dan memercikan sekeliling mezbah. (imam tidak pernah minum darah tersebut) kemudian, imam memotong menjadi empat bagian, mempersembahkan kepala serat lemaknya di atas mezbah, kemudian betis dan perutnya dibasuh dengan air dan dibakarnya. Sisa – sisa lain boleh di lemparkan ke tempat abu. (Misalnya, hal ini dilakukan dengan bulu burung.) selain menempatkan binatang kurban di atas mezbah, para imam bertanggung jawab untuk menjaga api di mezbah agar tidak padam. Mereka tidak boleh membiarkan abu menumpuk di dasar mezbah, tetapi pada waktu – waktu tertentu menaruh abu itu di samping mezbah. Kemudian, mereka membawa abu itu keluar perkemahan atau kota  “ke suatu tempat yang tahir.” Mereka harus mengganti pakaina untuk melakukan hal ini.

2.3.2        Kurban Sajian
orang Israel mempersembahkan padi – padian atau hasil sayur manyur di samping mempersembahkan binatang. Orang yang beribadah itu dapat mempersembahkan adonan yang di buat dari tepung  gandum yang telah dibakar dalam oven. Di pasang atas panggangan, dimasak dalam wajan, atau di panggang untuk membuat roti(cara terakhir dipakai untuk mempersembahkan hulu hasil.) setiap korban sajian di buat dengan minyak dan garam. Madu dan ragi tidak boleh di pakai. Dan harus membawa sedikit kemenyan.
Para penyembah membawa kurban sajian kepada seorang diantara dua imam, yang membawa kurban itu ke mezbah dan membakar suatu “bagian ingat - ingatan” (dari roti, roti bundar, roti tipis, atau bahan yang belum di masak) di atas api. Ia melakukan yang dengan semua kemenyan. Yang selebihnya di makan oleh imam. Tujuan dari korban bakaran sama dengan korban bakaran, perbedaanya adalah persembahan hulu hasil yang untuk menyucikan seluruh panen.
2.3.3        Korban keselamatan
santapan upacara yang di sebut “kurban keselamatan” dimakan bersama – sama dengan Allah, para imam, dan kadang – kadang dengan para penyembah yang lain. Kurban ini memerlukan lembu jantan atau betina, domba, atau kambing. Dan cara mempersembahkan hampir sama dengan persembahan kurban bakaran.
Binatang di kumpulkan dan di siram sekeliling tepi mezbah. Lemak dan perutnya di bakar. Kemudian sisanya di makan oleh imam dan apabila kurban itu merupakan kurban sukarela oleh para penyembah, untuk mengucap syukur atau memberi pujian kepada Allah. Kadang kala harus mempersembahkan ini setelah itu boleh mempersembahkan sukarela.
Bila kurban itu dipersembahkan secara sukarela, peraturanya  tidak begitu ketat. Para penyembah tidak perlu membawa roti tipis  dan dapat memakanya selama dua hari., bukan satu, bagian para imam di batasi pada dada dan paha kanan binatang itu. Dan siapa saja yang suci menurut upacara keagamaan dapat makan bagian – bagian yang lain.

2.3.4        Kurban Penghapus Dosa
Persembahan karena dosa “melunasi” atau mengadakan perdamaian karena kesalahan – kesalahan ritual seorang penyembah terhadap Tuhan. Kesalahan – kesalahan ini dilakukan secara tidak sengaja. (Im 4:1-2). Dosa – dosa imam besar di hapuskan dengan mempersembahkan seekor lembu jantan, darahnya tidak di siram di atas mezbah, tetapi dipercikan dari jari imam besar itu sebanyak tujuh kali di atas mezbah. Selanjutnya semua lemak dari perut di bakar. Semua bagian yang lain di bakar tidak dimakan, di luar perkemahan atau kota di “suatu tempat yang tahir, ke tempat pembuangan abu”
Dosa para pemuka dalam masyarakat itu harus dihapuskan dengan mempersembahkan seekor kambing jantan. Darahnya dipercikan sekali saja, kemudian darah selanjutnya dicurahkan sekeliling bagian bawah mezbah seperti dalam kueban bakaran. Dan dosa seorang pribadi dengan kurban binatang betina, kambing, domba, burung terkukur atau burung merpati. Apabila seorang tidak dapat menyediakan kurban seperti itu, persembahan tepung yang terbaik dapat di terima. Cara mempersembahkan tepung ini sama seperti cara untuk kurban sajian.

2.3.5        Kurban Penebus Salah
Kurban penebus salah sama seperti kurban penghapus dosa dan banyak ahli memasukan dalam golongan kurban penghapus dosa. Perbedaanya adalah bahwa kurban penebus salah itu merupakan kurban uang. Persembahan ini di buat untuk dosa – dosa ketidaktahuan, yang menyangkut penipuan, misalnya jika seorang dengan tag sengaja telah mendapat uang milik seorang dengan jalan menipu, persembahanya harus setara dengan uang yang di dapatnya itu. Persembahan ini berhubungan langsung dengan hal menghapus salah dengan perdamaian (mempertahankan kemuraha Allah) dan mengigatkan kita akan emosi yang kuat dalam semua penyembahan rasa kagum dan rasa syukur.

2.4  Tahun ritual atau saat kapan harus beribadah di dalam Bait Allah
Umat Israel menyembah Allah pada saat – saat yang di tentukanNya. Atau bilamana pun mereka “mencari Dia.” Tetapi di bawah pimpinan Musa, penyembahan di perintahkan pada waktu – waktu tertentu dalam setahun. Umat itu baru mematuhi hari sabat dan hari yang lainya  yang telah di tetapkan.

2.4.1        Hari Sabat
Rupanya sebelum Musa tidak dijalankan hari perhentian yang khusus di antara orang Ibrani. Pertama hari sabat di sebut pada saat orang Israel berkemah di padang gurun Sin sebelum mereka menerima kesepuluh perintah Tuhan. Hari sabat memisahkan orang Israel perbudakan, memisahkan orang Israel dari pekerjaan dan semua aktivitas yang biasa. Jadi hari sabat menginkan jika bangsa Israel di pisahkan dengan bangsa yang lain dan tentang hubungan dengan Allah.

2.4.2        hari paskah dan hari raya roti tidak beragi
selama hari raya ziarah, orang laki – laki  di haruskan menghadap hadirat Tuhan di tempat yang suci. Yang penting adalah hari raya paskah, ini mengagabungkan dua upacara, yang memperingatai ketika malaikat kematian melewati rumah tangga orang – orang Ibrani di mesir. Dan hari raya roti tidak beragi. Yang memperingati tujuh hari yang pertama dari pristiwa keluarnya Israel keluar dari tanah Mesir.
Perayaan besar ini di mulai pada senja hari 14 bulan Abib (yang di anggap mulainya hari ke 15) anak domba di sembelih tepat sebelum matahri terbenam. Dan di panggang seanteronya dan di makan dengan roti tidak beragi dan sayur pahit. Darah binatang menyimbolkan penyucian dari dosa. Sayur pahit melambangkan pahitnya perhambaan di Mesir, roti tidak beragi melambangkan kemurnian. Dan hari pertama dan hari ketujuh dijalani seperti hari sabat, tidak boleh melakukan pekerjaan dan umat mengadakan pertemuan yang kudus.

2.4.3        hari raya tujuh minggu
Hari raya ini di lakukan setelah hari raya roti tidak beragi. Hari raya ini menandakan akhir panen dan permulaan persembahan hulu hasil menurut Musim. Hari raya sehari di jalankan seperti hari raya sabat dengan suci di kemah suci pertemuan. Dua buah roti tidak beragi di persembahkan, bersama 10 ekor binatang yang layak untuk korban bakaran, dan dua ekor domba jantan berumur setahun, dan para imam mendesak orang banayk untuk mengingat orang yang memerlukan pertolongan pada perayaan ini.

2.4.4        hari raya pondok daun
hari raya ini memperingati pengembaraan bangsa Israel di padang gurun. Namanya berasal dari kenyataan karena selama perayaan ini bangsa Israel tinggal di kemah atau pondok daun. Perayaan ini di mulai pada bulan tujuh dan hari kelima belas. Jatuhnya pada akhir musim panen, imam mempersembahakn kurban bakaran khusus, dua puluh ekor lembu jantan muda selama semingu itu dan 14 ekor domba muda setiap hari dan seekor kambing jantan menjadi kurban penghapus dosa.










2.4.5        hari raya pendamaian
Taurat musa hanya meminta satu puasa pada hari raya perdamaian, dan hari itu jatuh pada hari kesepuluh bulan Tisyri, sebelum hari raya pondok daun. Hari itu di rayakan dengan tidak melakukan pekerjaan dan berpuasa untuk menghadiri pertemuan kudus. Imam mengganti pakaian mewah dengan menggunakan pakaian putih yang sederhana. Yang unik dari perayaan ini adalah imam dengan simbolis memindahakan dosa umat kepada seekor kambing. Imam meletakan kedua tangan dan mengakui dosa umat.[10]





















Bab III
Penutup

3.1  aplikasi yang dapat di ambil bagi jemaat masa kini
Pada saat Bait Allah masih ada umat Tuhan begitu antusias dalam melakukan penyembahan, meskipun dengan aturan dan tata cara ibadah atau liturgi ibadah yang menurut zaman sekarang sangat susah, umat Tuhan tidak dapat datang dengan sendiri pada Tuhan dan harus melalui imam dan umat Tuhan pun di haruskan membawa kurban bagi Tuhan, tetapi setelah Tuhan Yesus datang Tuhan telah menggenapi semua hukum taurat yang ada, dan Tuhan telah mengorbankan nyawanya untuk menebus setiap manusia dari dosa, sehingga umat manusia tidak perlu lagi membawa kurban ketika datang kepada Tuhan, tetapi pada kenyataan saat ini banyak sekali orang percaya yang tidak menghargai kurban Tuhan di atas kayu salib, mereka menyianyiakan itu semua dengan hidup sesuai keinginanya sendiri. Oleh karena itu setelah mempelajari liturgi dalam Bait Allah penulis dapat memberikan aplikasi bagi orang percaya saat ini yaitu setiap orang percaya yang telah di tebus Tuhan di atas kayu salib harus bersyukur dan menghargainya dengan menujukan keseriusan


[1] Sostenis Nggebu dari ur-kasdim sampai ke Babel. Yayasan kalam hidup. Bandung, 2000. Hal 203
[2] Dr F.l. Bakker. Sejarah kerajaan Allah. Bpk gunung mulia. Jakarta, 1993. Hal 559
[3] Lukas adi s, “Smart Book of Christianity”yogyakarta. Andi, 2015, hlm 698
[4] Howard F. Vos”Arkeologi dan sejarah Alkitab”malang. Gandum mas. 1997. Hlm 214
[5] W.R.F. Browning. Kamus Alkitab. BPK. Gunung Mulia, Jakarta. 2007. Hal. 43
[6] Dr F.l. Bakker. Sejarah kerajaan Allah. Bpk gunung mulia. Jakarta, 1993. Hal 357
[7] Brian j bailey. Daud dan Salomo. Nafiri Gabriel. Jakarta, 1997. Hal. 157
[8] J. I. Packer, Merrill C. Tenney. Ensiklopedi fakta Alkitab.yayasan penerbit Gandum Mas. Malang, 2001. Hal. 820
[9] W.R.F. Browning. Kamus Alkitab. BPK. Gunung Mulia, Jakarta. 2007. Hal. 149
[10] J. I. Packer, Merrill C. Tenney. Ensiklopedi fakta Alkitab.yayasan penerbit Gandum Mas. Malang, 2001. Hal. 823-832

Pentingnya Kontekstual bagi Pertumbuhan Gereja Tuhan

Bab I
Pendahuluan
1.1    Latar Belakang
      Pada saat ini pertumbuhan suatu gereja adalah harapan semua hamba Tuhan, pertumbuhan gereja dalam bidang kuantitas, pertumbuhan gereja dalam kualitas dan pertumbuhan dalam organitas, tetapi kadang kala untuk mencapai sebuah pertumbuhan itu ada problematika yang terjadi sehingga pertumbuhan itu terjadi lambat. Padahal jika gereja Tuhan mau melakukan penginjilan dengan kontekstual akan membantu sekali pertumbuhan gereja tersebut. Karena kita dalam melakukan pelayanan kita berada di tengah masyarakat yang majemuk, dan banyak sekali perbedaan dengan kita, sehingga dalam melayani kita perlu malakukan penginjilan kontekstual untuk mencapai pertumbuhan gereja yang di inginkan. Dan di sini penulis akan memaparkan problematika gereja yang kurang sadar akan pentingnya untuk melakukan penginjilan kontekstual demi tercapainya kemajuan atau pertumbuhan sebuah gereja.
    
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1                  Seperti apa pandangan gereja yang salah karena menolak melakukan           penginjilan kontektual.
1.2.2                  Apa yang terjadi jika Latar belakang pendidikan pemimpin gereja kurang?
1.2.3                  Pandangan Alkitab akan kotekstual
1.2.4                  Bagaimana menyadarkan hamba Tuhan akan pentingya penginjilan kontekstual
1.2.5                  Seperti apa jemaat yang Missioner itu




1.3    Tujuan Penulisan
            Dengan ini penulis mempuyai tujuan dalam melakukan penulisan karya ilmiah ini adalah agar setiap gereja Tuhan sadar akan pentingnya pelayanan kontektual terhadap suatu kebudayaan bagi pertumbuhan gereja Tuhan dan semakin banyak jiwa – jiwa di bawa kepada melalui pelayanan kontekstual yang di lakukan oleh gereja Tuhan. Sehingga gereja mengalami pertumbuhan dalam kuantitas, kualitas dan oragnitas.




























Bab II
Pembahasan
2.1  Gereja menolak Penginjilan kontekstual.
            Dalam kita melayani pastilah kita tidak jauh dari kebudayaan masyarakat yang kita layani. Dan ada sebuah pertanyaan, Apa dan bagaimana sebenarnya hubungan antara antropologi kebudayaan dan pelayanan itu? sejauh mana hubungan ini memiliki keabsahan dalam aktualisasi pelayanan di lapangan? Pertanyaan ini memang sangat penting untuk digumuli, mengingat bahwa ada asumsi menolak keterkaitan antropologi dan pelayanan. Karena ada orang yang berpendapat bahwa pelayanan itu harus berdasarkan Alkitab saja. Karena itu, segala sesuatu yang yang berbau ilmu pengetahuan, termasuk antropologi kebudayaan tidak punya tempat dalam kamus pelayanan. Pendapat ini sepintas lalu kelihatanya benar, sehingga orang dengan begitu gampang  menerimanya, namun dalam kenyataan sebenarnya ialah bahwa setiap pelayanan itu berhubungan dengan manusia pasti akan menyentuh kebudayaan yang ada di dalam manusia itu sendiri. Dan pelayanan yang menyentuh manusia pastilah berurusan dengan antropologi kebudayaan. [1] tetapi pada kenyataanya banyak sekali gereja yang tidak menyadari tentang pentinya peran kontekstualisasi terhadap kebudayaan bagi pertumbuhan gereja Tuhan saat ini. Mereka beranggapan jika kita melakukan penginjilan kontekstual kita sedang melakukan sinkritisme, sehingga mereka menolak untuk melakukan penginjilan kontekstual.
Secara sekilas, memasukan masalah kebudayaan dalam sebuah buku tentang misi kristen dapat kelihatan aneh. Setiap pokok lainya dalam bagian ini adalah sesuai dengan deskrispsi tentang misi sebagai suatu tugas yang harus di jalankan. Injil dan kebudayaan adalah pokok yang kelihatan ganjil disini.walaupun begitu, masalah kebudayaan mempengaruhi setiap aspek dari misi kita. Ia merembes ke semua bidang. Dan jika kita mengabaikan pengaruh kebudayaan, kita menghadapi resiko keliru dalam membaca situasi – situasi.[2]




2.1.1        Latar belakang pendidikan pemimpin gereja
Dalam hal memimpin suatu lembaga Gereja, latar belakang pendidikan seorang gembala sidng sedikit banyaknya akan mempuyai pengaruh akan mengertinya pentingnya dari sebuah penginjilan kontekstual. Jika seorang yang mempuyai latar belankang pendidikan yang baik pastilah pemimpin tersebut akan mengerti pentingnya penginjilan kontekstual dilakukan. Jadi dai harapkan seorang pemimpin gereja adalah orang yang mempuyai latar belakang pendidikan yang mumpuni atau yang sesuai dengan bidangnya. Misalnya adalah aturang yang di berlakukan oleh beberapa sinode jika seorang hamba Tuhan wajib seorang sarjana Teologia, jadi jika seorang pemimpin gereja mempuyai latar belakang seorang sarjana teologia, karena seorang hamba Tuhan harus berkotbah dan mengajar. [3] jadi di sini di harapkan seorang gembala mempuyai pengetahuan yang lebih dan jika seorang gembala tersebut sudah dalam usia tua, di harapkan ia mengikuti banyak seminar, terutama seminar penginjilan zaman sekarang.
2.1.2        Latar belakang pendidikan pelayan Tuhan di gereja
Dalam sebuah gereja, yang melayani bukanlah seorang gembala saja, karena seorang gembala pastilah mempuyai beberapa staf. Dan kadang kala merekalah yang melakukan setiap tugas dari pemimpin atau gembala. Dan latar belakang pendidikan seorang pelayan Tuhan mempuyai pengaruh akan mengerti atau tidaknya jika pelayanan pnginjilan kotekstual itu mempuyai peranan penting bagi pertumbuhan sebuah gereja.
2.1.3        Doktrin Gereja yang menolak penginjilan kontekstual
Dalam sebuah lembaga gereja pastilah mempuyai doktrin – doktrin yang berbeda dengan gereja yang lain. Dalam doktrin – doktrin ini sebuah gereja pastilah akan mempuyai sebuah doktrin yang membedakan dengan gereja lain. sehingga doktrin ini yang akan menghambat sebuah penginjilan kontekstual, karena ada doktrin dari gereja yang menolak kebudayaan untuk masuk ke dalam gereja. Karena ada gereja yang beranggapan jika kebudayaan adalah hasil dari dunia, dan itu tidaklah boleh masuk ke dalam gereja, sehingga gereja menolak penginjilan kontekstual.

2.1.4        Kaum awam yang tak di gerakan
Fungsi dari sebuah geraja adalah meninggihkan Sang Juruselamat, memperlengkapi orang kudus, dan mengijili orang berdosa. Setiap anggota, individu demi individu, dipersatukan kedalam satu kesatuan tubuh.[4] Dalam setiap gereja pastilah ada jemaat yang tidak ikut dalam mengambil dalam pelayanan. Biasanya jemaat ini di sebut dengan kaum awam. Mereka kadang kala tidak mengerti akan tugas amanat agung yang di berikan oleh Tuhan. Karena kita semua membutuhkan pembimbing rohani.[5] Tetapi tidak sedikit dari pemimpin gereja Tuhan menggerakan atau memperlengkapi setiap jemaat untuk melakukan penginjilan.

2.2  Kontekstualisasi dalam Alkitab
            Dalam 2 raja-raja 18 dimuat laporang mengenai pengepungan Yerusalem oleh raja Asyur, Sanherib. Setelah Raja Sanherib menuntut upeti yang amat besar (Ay 14-16), ia makin menjadi berani, karena hizkia terlihat lemah, dan ia menuntut penyerahan total dari kota itu, suatu delegasi dari Asyur mendekati gerbang kota Yerusalem untuk merundingkan penyerahan. Karena mereka tidak mau para rakyat mendengar perkataan mereka, mereka meminta panglima Asyur untuk berbicara menggunakan bahasa Aram, panglimanya menolak dan berbicara menggunakan bahasa Ibrani kembali.[6] Di sini kita bisa melihat bagaimana kedua belah pihak yang melakukan kontekstualisasi demi tercapainya sesuatu kesepakatan yang saling menguntungkan.
2.2.1        Perjanjian Lama
Dalam perjajian lama sulit di temukan contoh komunikasi lintas budaya dalam hal suatu berita keagamaan yang khusus. Namun perjumpaan lintas budaya tidaklah sedikit. Tetapi bila Israel bertanggung jawab untuk berkomunikasi secara lintas budaya, dan bila kegiatan tersebut ternyata melibatkan mereka dalam semacam bentuk kontekstualisasi dalam perjanjian lama. Kalau pun ada? Ada beberapa alasan yang dapat diajukan. Yang pertama Allah melarang Israel mengadakan perjanjian politik dan keagamaan dengan bangsa – bangsa tertentu. Hal ini menolong Israel mempertahankan kesetiaannya kepada perjajian dengan Allah. yang kedua proses kontekstualisasi dihalangi oleh tidak adanya berita keagamaan yang jelas. Yang ketiga karena orientasinya yang etnosentris, sehingga mengabaikan tanggung jawab misioner apa pun.[7] Sudah barang tentu dalam Perjanjian Lama belum terdapat penugasan yang tegas untuk melakukan perkabaran keluar terhadap segala bangsa.[8]
2.2.2        Perjanjian Baru
Kita tahu bahwa keempat injil semuanya mengakhiri tulisanya dengan misi.[9] Dan di perjanjian baru, memperlihatkan serangkaian keadaan yang berbeda, sehinggga berguna untuk pembicaraan kita mengenai kontekstualisasi. Pertama, kedatangan Kristus dan penggenapan karya penyelamatanNya memberikan fokus bagi berita keagamaan. Kedua, dokumen-dokumen Perjanjian baru tidaklah pertama – tama bersifat deskriftif yang artinya dokumen itu tidak hanya melaporkan penyebaran misi jemaat, tetepi alat yang digunakan dalam penyebaran tersebut. Oleh karena inilah mereka lebih muda untuk mengenal contoh-contoh kontekstualisasi yang lebih erat terkait dengan  situasi-situasi yang di hadapi dalam dunia modern kita yang berbudaya majemuk dalam Perjanjian Baru. Kegiatan ini tidak hanya melibatkan usaha-usaha untuk mendapatkan keuntungan dengan menyesuaikan diri dengan menggunakan perbedaan-perbedaan kebudayaan. Melainkan juga penyampaian yang dilakukan secara sadar dan sengaja dari keagamaan yang jelas.[10]

2.3  Solusi agar Gereja sadar Pentingya Melakukan penginjilan Kontekstualisasi
            Solusi agar gareja mau melakukan penginjilan kontekstual, meskipun banyak sekali yang mengahalangi atau mencegah penginjilan kontekstual, sehingga gereja tidak melakukan penginjilan kontekstual dengan kita belajar dari Allah. karena Allah yang memperkenalkan diri dalam diri Yesus Kristus adalah Allah yang mencipta, memelihara, dan menebus umatNya. Inilah Allah dalam Kristus, Allah yang Misioner. Dalam kaitan ini, mengenal Allah dalam Kristus berarti turut serta dalam karyaNya. Tidak bisa seorang berkata,”aku mengenal Allah dalam Kristus!”; tetapi tidak mencerminkan karakter Allah yang misioner.
            Mengenal Allah dalam Kristus berarti terlibat dalam misi Allah. Misi menjadi identitas dan alasa keberadaan semua manusia yang mengenal Allah dalam Kristus. Jika misi di pahami sebagai keturutsertaan sebagai rekan sekerja Allah. maka keterlibatan manusia merupakan keniscayaan. Keterlibatan yang membawa manuisa kepada penyembahan dan kerendahan hati di hadiratNya. Dengan demikian misi di pahami secara luas tidak lagi secara sempit.[11] Pelayanan misi pada hakekatnya adalah sebuah penginjilan. Penginjilan adalah hasil alami dari “tubuh” yang di penuhi Kristus, yang hidup, dan yang berfungsi dalam sebuah komunitas. Penginjilan bukan suatu pristiwa, bukan suatu kebaktian, ataupun suatu kegiatan. Penginjilan dapat mencakup hal-hal itu, tetapi penginjilan lebih dari semuanya itu. penginjilan adalah hasil dari kehidupan Kristus yang mengalir ke dalam gereja.[12]
2.4  Menyadarkan Para Hamba Tuhan Akan Pentingnya Penginjilan
            Dalam gereja pastilah ada hamba-hamba Tuhan yang melayani, melayani dalam jalananya ibadah ataupun dalam pemberitaan Firman. Dan Setiap Hamba Tuhan yang memberitakan injil Kristen selalu berupaya menyajikan berita injil dalam istilah – istilah yang dapat di pahami oleh pendengarnya. Dengan demikian, para pemberita injil dari segala masa mengahadpi inkulturasi meraka sendiri, dan juga masalah adat istiadat, bahasa dan sistem kepercayaan dari bangsa – bangsa lain.
            kadang- kadang pemberita injil segaja menyesuaikan pemberitaanya dengan unsur-unsur budaya pendengar. Dalam hal ini terjadi sejenis perjumpaan kebenaran.     Dimana pemberita berusaha mempermuda pemahaman injil dengan mengacu kepada persamaan-persamaan antara pemahaman mereka dan pendengar. Ada kalanya para pemberita kristen mengahadapi suatu konflik, karena mereka perlu menghindari atau bahkan mengatasi halangan-halangan yang terkandung dalam budaya pendengarnya. Semuanya ini dilakukan guna menyampaikan berita injil dalam bentuk yang lebih muda dipahami, yang relevan dengan budaya, dengan kata lain mengkontekstualisasikanya.[13] Prinsip kerja konsep kontekstualisasi berhubungan erat dengan sifat teologis situasional. Maksudnya ialah bahwa kontekstualisasi berhubungan erat dengan refleksi teologi yang mengaitkan teks (Alkitab) dengan konteks (situasi kehidupan). Hubungan ini adalah suatu interaksi dinamis yang dari padanya munculah “suatu teologi kontekstualisasi”. Disini kebenaran Firman Allah harus dijelmakan dalam situasi budaya secara keseluruhan, sehingga Firman itu dapat diterima dan dipastikan milik budaya tersebut. Refleksi teologi kontekstual menuntut pelibatan diri melalui tindak dan refleksi dalam berteologis. Ajaran Alkitab harus di terapkan dalam struktur pikir dan kehidupan budaya, sehingga Kristus menjadi Tuhan atas dan dalam kebudayaan tersebut.[14]

2.5  jemaat yang Missioner
      Beberapa penerapan kontektual yang dapat di pakai oleh gereja Tuhan. Dan gereja pun dapat menggerakan jemaat untuk melakukan penginjilan. Karena jemaat seluruhnya adalah missioner., oleh karena ia di utus ke dalam dunia. Jika ia tidak, ia menyangkal inti injil Yesus Kristus yang tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan hidupnya sebagai tebusan untuk orang banyak. Dan bilamana persekutuan cintakasih di dalam jemaat sungguh-sungguh tampak, maka itu merupakan kesaksian yang terbaik. Bilamana damai dan sejahtera sama sendiri dihayati betul-betul, maka perhatian orang-orang lain akan tertarik ke sit. Dan timbulah untuk mengabarkan Injil Yesus Kristus.[15] Ketika melakukan penginjilan ada empat pokok pemberitan injil, pertama, Kristus telah di serahkan oleh Allah Bapa untuk menerima hukuman mati atas dosa-dosa yang telah kita lakukan, kedua, Kristus telah dikuburkan, ketiga, Allah membangkitkan Dia dari antara orang-orang mati pada hari yang ketiga, dan keempat adalah kita akan menerima kebenaran dari (di benarkan oleh) Allah apabila kitya percaya akan semua fakta ini.[16] Dan gereja juga dapat menggunakan beberapa model kontekstualisasi untuk melakukan penginjilan. Antara lain:
2.5.1        model kontekstualisasi Akomondasi
            akomondasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan yang asli yang di lakukan dalam sikap, kelakuan dan pendekatan praktis dalam tugas misionari baik secara teologis maupun secara ilmiah. Obyek akomondasi adalah kehidupan kebudayaan yang menyeluruh dari suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial maupun ideal.
            Disini, dalam komunikasi injil, terjadi proses penetrasi dan dalam penerapanya terdapat pengambilalihan unsur budaya setempat untuk mengekspresikan dan peningkatan sambutan atas injil. Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani dimana kristus menjadi penyempurna dan perlengkap aspirasi budaya. Dengaan demikian akan terdapat sikap positif terhadap injil yang di dasarkan atas pandangan bahwa anugrah Allah (injil) tidak mengahancurkan budaya manusia, tetapi justru memperlengkapi dan menyempurnakanya

2.5.2        Model kontekstualisasi Adaptasi
Perbedaan adaptasi dan akomondasi terletak pada cara pendekatanya. Model adaptasi tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam mengekspresikan injil, tetapi menggunakan bentuk dan ide budaya yang dikenal. Tujuan adaptasi ialah mengekspreiskan dan menterjemahkan injil dalam istilah setempat (indigeneousterms), sehingga menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut.

2.5.3        Model kontekstualisasi Prossesio
Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negatif, Proses Prossesio terjadi melaui seleksi, penolakan, reinterprestasi, dan rededikasi. Kelompok prossesio melihat kebudayaan sebagai suatu yang rusak oleh dosa, dan tidak ada kebaikan yang muncul dari dalamnya.
2.5.4        Pola kontekstualisasi Transformasi
Dalam pemahaman pola Transformasi, Allah di atas budaya, dan melalui budaya itu pula, Allah menggunakan kebudayaan berinterasi dengan manusia. Bila seorang dibaharui Allah, maka inti kebudayaan juga dibaharui (2 kor 5:17).
2.5.5        Model kontekstualisasi Dialek
Ini adalah interaksi dinamis antara teks dengan konteks. Konsep ini di dukung oleh perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada di dalam setiap kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu, perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian gereja harus mengunakan peran kenabianya untuk menganalisa, menginterpretasi dan menilai setiap keadaan.[17]
Bab III
Kesimpulan
            Saat ini kita melayani di dunia yang penuh dengan kebudayaan, dan sangatlah mustahil jika kita tidak tersentuh dengan kebudayaan yang ada. Dan jika kita ingin memenangkan banyak jiwa itu dapat kita lakukan dengan cara mendekati masyarakatnya dengan kebudayaan yang ada. Oleh karena itu gereja saat ini sangatlah perlu untuk melakukan penginjilan kontekstual dengan kebudayaan masyarakat yang akan dituju, karena dengan pendekatan kepada kebudayaan kita akan dengan muda melakukan penginjilan kepada masyarakat tersebut. Tetapi perlu di ingat selama kebudayaan tersebut tidak dalam dosa kita boleh menerima kebudayaan tersebut, tetapi jika kebudayaan itu termasuk dosa kita harus meminta hikmat dari Roh kudus untuk melakukan apa.  



                  [1] DR.Yakob Tomatala. Antropologi dasar pendekatan pelayanan lintas budaya. Media penerbit                 Kristen. Jakarta.  2007 Hlm.3
                  [2] J. Andrew Kirk. Apa misi itu? BPK gunung Mulia. Jakarta. 2012. Hlm. 101
                [3] Seth Msweli. Gembala sidang dan pelayananya. Yayasan kalam hidup. Bandung. 2002.hlm. 203
[4] Billy Graham. Total church life. Lembaga literatur Baptis. Bandung. 2004.hlm.141
[5] Howard rice. Manajeman umat. Yayasan kalam hidup. Bandung.2006.hlm55
                [6] David J. Hesselgrave. Edward Rommen. Kontekstualisasi. BPK Gunung Mulia. Jakarta. 2012. Hlm 20
                [7] Ibid. Hlm. 23
                [8]Dr. Arie de kuiper. MISSIOLOGIA. BPK Gunung Mulia. Jakarta. 2000. Hlm18
                [9] Dr. David iman Santoso. Theologi Matius. Literatur SAAT. Malang.2009. hlm. 259
                [10] Ibid.hlm. 25
                [11] John ru ck dkk. Jemaar yang Misioner. Yayasan komunikasi bina kasih. Jakarta. 2011. Hlm 10
                [12] Billy Graham. Total Church Life. Lembaga literatur Baptis. Bandung. 2004. Hlm255
                [13] John ruck dkk. Jemaar yang Misioner. Yayasan komunikasi bina kasih. Jakarta. 2011. Hlm. 19
                [14] DR. Y.Y. tomatala. Penginjilan Masa Kini. Gandum Mas. Malang. 2004. Hlm.67
                [15] Dr. Arie de kuiper. MISSIOLOGIA. BPK Gunung Mulia. Jakarta. 2000. Hlm.102
                [16] Derek Prince. Foundations For Righteous Living. Derek Prince Ministries Indonesia.                                        Jakarta.2005.hlm177
                [17] DR. Y.Y. tomatala. Penginjilan Masa Kini. Gandum Mas. Malang. 2004. Hlm.66-68